Tanggal 31 Januari 2008, saya diminta ngobrol santai seputar batas maritim di Departemen Kelautan dan Perikanan. Thanks to Arief (Gd 97 UGM) yang sudah menjadi fasilitator yang baik bagi acara ini. Acara ini diselenggarakan dalam rangka
di Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Turut memberikan paparan dalam acara tersebut adalah Bapak Sapta Putra Ginting, PhD selaku Deputi Direktur dan Bapak Steven Y. Pailah dari Klub Studi Perbatasan. Berikut beberapa hal yang ditanyakan oleh peserta yang sangat antusias:
1. Dalam delimitasi batas maritim ada beberapa metode, seperti ekuidistan. Seandainya metode ini tidak diterima, misal karena adanya sumberdaya migas, apa alternatif efektifnya?
Jawab:
Hal pertama yang harus diperhatikan bahwa batas maritim adalah masalah kesepakatan. Kesepakatan dicapai dengan negosiasi yang secara bebas memperhatikan segala macam pertimbangan. Selain itu, ada sangat banyak metode yang bisa dipakai, seperti proporsionalitas, metode tegak lurus, kelanjutan alamiah dan sebagainya. Dalam hal ekuidistan tidak diterima sebagai solusi, perlu dipertimbangkan alternatif ekuidistan yang disederhanakan, misalnya ekuidistan murni terlalu rumit karena terdiri dari terlalu banyak titik belok. Bisa juga ekuidistan ini dimodifikasi, misalnya karena adanya pulau kecil yang semula tidak diperhitungkan dalam penarikan garis tetapi akhirnya diberi bobot nol (hanya diberi 12 M laut teritorial) sehingga mengubah garis ekuidistan murni.
Jika di kawasan yang dimaksud ada sumberdaya migas, alternatifnya adalah tetap menarik garis sehingga garis itu kemudian membagi ladang migas yang membuat pembagian/kepemilikan ladang migas menjadi jelas. Alteratif kedua adalah tidak menari garis batas melainkan mengelola ladang migas tersebut secara bersama. Hal ini contohnya adalah Joint Cooperation Zone antara Indonesia dan Australia di Laut Timor (Celah Timor) melalui Traktat Celah Timor tahun 1989. Contoh lain adalah Joint Petroleum Development Area (JPDA) antara Timor Leste dengan Autralia di kawasan yang sama melalui Timor Sea Treaty 2002. Dalam hal ini tidak dibuat garis melainkan pembentukan kawasan pengusahaan bersama dan menunda penarikan garis selama sekitar 50 tahun.
2. Mengingat isu perbatasan ini sangat penting, perlu kiranya dibentuk badan perbatasan.
Komentar:
Memang lebih baik jika ada lembaga yang secara khusus menangani perbatasan ini. Persoalan yang sangat penting seperti perbatan yang terkait kedaulatan dan hak berdaulat tidak cukup jika dikelola secara add hoc. Persoalan selanjutnya adalah bagaimana institusi ini sebaiknya bekerja dan bagaimana strukturnya, ini yang memerlukan kajian sangat serius.
3. Singapura telah melakukan reklamasi pantai. Bolehkah pantai hasil reklamasi ini dijadikan garis pangkal?
Jawaban:
Perlu dicatat bahwa memang pulau buatan atau artificial island tidak bisa dijadikan titik pangkal sehingga tidak berhak mengklaim wilayah maritim sendiri. Namun demikian, dalam Pasal 11 dalam UNCLOS disebutkan bahwa "Untuk tujuan delimitasi laut territorial, bagian terluar instalasi pelabuhan yang merupakan bagian integral dari pelabuhan dapat diperlakukan sebagai bagian dari pantai.” Ini mengindikasikan bahwa jika reklamasi yang dimaksud adalah pelabuhan atau bagian yang integral dengan pelabuhan, maka bisa dianggap sebagai pantai. Artinya juga mungkin digunakan sebagai garis pangkal.
4. Dalam melakukan kajian delimitasi, Indonesia menerapkan suatu metode. Apakah metode ini pasti disetujui, sementara metode tersebut tidak disebutkan secara tegas dalam UNCLOS?
Jawab:
Dalam melakukan kajian sebelum negosiasi memang sebaiknya diterapkan berbagai metode untuk mengantisipasi pendekatan lawan negosiasi. Metode ini memang belum tentu disetujui namun setidaknya Indonesia sudah mendasarkan argumentasinya pada hukum (UNCLOS, misalnya) atau yurisprudensi. Misalnya Indonesia bisa mengacu pada kasus serupa yang telah diputuskan dan menerapkan metode untuk kasus Indonesia. Intinya, metode yang dicoba oleh Indonesia tentu saja tidak boleh ’sembarangan’ tetap harus mengacu pada hukum atau jika dalam hukum tidak disebutkan, dapat dicari dukungannya dari keputusan untuk kasus serupa sebelumnya.
5. Sering terjadi bahwa peta darat yang dikeluarkan bakosurtanal dan peta laut yang dikeluarkan Janhidros tidak sama. Jika ditumpang susun terlihat perbedaan yang signifikan. Bagaimana mengatasi hal ini, terutama terkait dengan referensi tinggi. Apakah dimungkinkan adanya penyatuan sistem tinggi?
Jawab:
Perlu diketahui bahwa peta darat dan peta laut memang menggunakan referensi tinggi yang berbeda. Peta darat menggunakan air tinggi rata-rata (mean sea level), sedangkan peta laut menggunakan permukaan air terendah. Konsekuensinya, luas daratan yang tertera pada peta darat akan lebih kecil dibandingkan yang tertera pada peta laut. Selain itu, waktu pengambilan data adalah hal yang perlu diperhatikan. Jika peta darat dan peta laut yang ditumpangsusunkan berasal dari data yang diambil dalam waktu yang berbeda secara signifikan (misalnya berbeda hingga 1-2 tahun atau lebih), memang sangat mungkin terjadi perubahan rupa bumi yang menyebabkan ketidaksingkronan kedua peta yang dimaksud. Hal lain yang menyebabkan hal ini tentu saja adalah kualitas peta tersebut, terutama kualitas data yang menjadi sumber/bahan pembuatan kedua peta. Koordinasi antarinstitusi menjadi sangat penting dalam hal ini.
Terkait penyatuan sistem tinggi peta darat dan peta laut, secara teoritis bisa dilakukan atau setidaknya bisa dilakukan konversi antar keduanya. Secara teknis, perlu diperhitungkan pasang surut sehingga ada koefisien penambah atau pengurang untuk ’membawa’ msl ke permukaan air terendah atau sebaliknya.
6. Kenyataannya, dalam peta laut terbitan Bakosurtanal maupun Janhidros, ada pulau kecil yang sudah terpetakan dan ada yang belum. Bagaimana dengan penggunaan citra satelit untuk identifikasi pulau kecil ini?
Jawab:
Definisi pulau harus mengacu pada pasal 121 UNCLOS. Dalam hal ini, referensi muka air laut menjadi penting. Pulau harus tetap di permukaan air saat air pasang. Seandainya citra yang dimaksud diambil pada saat air surut maka citra tersebut akan menampilkan lebih banyak fitur. Fitur-fitur yang terlihat pada citra tersebut mungkin saja akan tenggelam (tidak terlihat) jika citra tersebut diambil saat air pasang. Hal ini bisa menimbulkan kekeliruan dalam mengidentifikasi pulau. Fitur yang bukan pulau bisa teridentifikasi sebagai pulau. Ini yang harus diperhatikan dalam menggunakan citra satelit.
7. Bagaimana dengan pembagian kewenangan daerah di laut ?
Jawab :
Undang-undang No. 32/2004 mengisyaratkan adanya kewenangan daerah di kawasan laut. Kewenangan provinsi hingga 12 M dari garis pangkal dan sepertiganya adalah kewenangan kabupaten/kota. Dalam undang-undangan ini juga diisyaratkan dalam hal terjadi pertampalan antar provinsi atau kabupaten/kota maka harus dilakukan delimitasi dengan metode ekuidistan.
Penegasan batas daerah di laut maupun di darat secara teknis diatur dalam Permendagri No. 1/2006.
8. Dalam melakukan delimitasi, masing-masing negara tentunya melakukan simulasi dengan metode sendiri. Tentunya hasil delimitasi masing-masing pihak akan bebeda. Bagaimana mengantisipasi ini ?
Jawab :
Sebelum berbicara masalah metode, harus diperhatikan dulu masalah data, dalam hal ini peta laut yang digunakan. Jika peta laut yang dipakai kedua belah pihak berbeda, tentu hasilnya akan berbeda. Perbedaan ini misalnya menyangkut spesifikasi seperti datum, sistem proyeksi, dll. Maka dari itu perlu dilakukan pertemuan pendahuluan yang isinya termasuk menyepakati data peta yang dipakai oleh kedua tim teknis. Selanjutnya metode juga disepakati, atau setidaknya masing-masing menjelaskan metode yang dipakai.
Di luar semua itu, sebuah kesepakatan batas maritim tidak mengharuskan diungkapnya proses untuk mencapai kesepakatan itu. Dalam perjanjian, tidak diharuskan untuk menjelaskan metode yang digunakan untuk mencapai ketetapan final. Oleh karena itu, metode dan proses dicapainya suatu kesepakatan bisa saja tetap rahasia.
9. Jika kita berbicara soal pengelolaan pulau di perbatasan dan atau wilayah laut, kesepakatan internasional tentu saja sangat penting agar proses selanjutnya dapat berjalan lancar. Sementara itu kesepakatan itu tidak mudah dicapai. Dapatkan pengelolaan dilakukan tanpa menunggu keputusan.
Jawab :
Perlu dibedakan antara kedaulatan (sovereignty) dengan hak berdaulat (sovereign rights). Untuk dapat mengelola pulau kecil, meskipun ada di kawasan perbatasan, tidak diperlukan adanya kesepakatan dengan negara lain. Tanpa adanya garis batas maritim, pengelolaan atas pulau tetap bisa dilakukan. Ini termasuk kedaulatan.
Sedangkan untuk wilayah maritim, terutama yang di luar 12 mil, pengelolaan dan terutama eksploitasinya memerlukan kesepakatan batas maritim terlebih dulu. Melakukan eksploitasi pada kawasan laut yang batas maritimnya belum ditetapkan rawan sengketa. Hal ini terjadi di Blok Ambalat, misalnya.
10. Dalam penentuan batas terluar landas kontinen ekstensi (melebihi 200 M dari garis pangkal) nampaknya dibutuhkan survey dengan metode yang tidak sederhana. Apa pedoman untuk ini?
Jawab :
Landas kontinen diatur pada pasal 76 UNCLOS. Lampiran II UNCLOS menjadi dasar pembentukan Komisi Batas Landas Kontinen atau Commission on the Limits of Continental Shelf (CLCS). Komisi ini membuat guidelines yang diadopsi tahun 1999. Guidelines ini yang menjadi pedoman ilmiah dan teknis cara penetapan landas kontinen dan prosedur submisinya kepada PBB.
11. Apa fungsi CLCS dan bagaimana pemilihan anggotanya ?
Jawab :
CLCS merupakan komisi teknis dengan anggota 21 orang ahli geodesi, geofisika, geologi dan hidrografi. Komisi ini bertugas memberikan rekomendasi terhadap pengajuan landas kontinen oleh negara pantai. Komisi ini berhak meminta negara pantai untuk merevisi pengajuannya jika dianggap perlu. Selanjutnya negara pentai menetapkan baas terluar landas kontinen yang sifatnya final dan mengikat setelah memperhatikan rekomendasi dari komisi. Anggota komisi dipilih dari negara anggota UNCLOS melalui mekanisme pencalonan secara region yang dilakukan setiap lima tahun. Pada masanya, negara anggota UNCLOS akan dikirimi surat untuk diberi kesempatan mengajukan calonnya hingga tenggat waktu tertentu.
Jika ditanya mengapa Indonesia tidak terwakili di CLCS dan bahkan tidak mengajukan calon, tentu ada alasannya yang sampai sejauh ini tidak diketahui publik.
12. Pantai bersifat dinamis. Jika terjadi abrasi berarti terjadi perubahan garis pantai. Apa yang terjadi dengan klaim maritim dan batas maritim?
Jawab:
Garis pantai yang berubah dapat mengubah garis pangkal. Perlu adanya redefinisi garis pangkal yang mengakibatkan klaim maritim juga berubah. Meski demikian, batas maritim dengan negara tetangga yang sudah disepakati dan dituangkan dalam traktat tidak akan berubah karena perubahan garis pantai ini kecuali memang secara sadar ingin diubah kedua belah pihak melalui renegosiasi.