I Made Andi Arsana, ST, ME1
Isu batas wilayah Jogja-Jateng belakangan ini marak dibicarakan. Sebuah berita mengatakan bahwa perubahan batas DIY-Jateng yang terjadi pada 213 titik menyebabkan menyempitnya wilayah Jogja.
Persoalan batas memang multi-dimensi yang melibatkan aspek legal, teknis, dan sosial ekonomi. Sengketa batas wilayah bisa menimbulkan berbagai persoalan yang terkait setidaknya dengan ketiga aspek tersebut. Tulisan ini tidak akan secara spesifik mengulas permasalahan batas antara DIY-Jateng, melainkan memberikan gambaran yang lebih umum sifatnya dan semoga bisa menjadi pengetahuan bagi siapa saja yang tertarik dan berkepentingan dengan perihal batas daerah.
Diberlakukannya Undang-undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah merupakan titik awal dilaksanakannya konsep otonomi daerah di Indonesia. Kini UU ini direvisi menjadi UU No. 32/2004 yang salah satunya mengatur penentuan dan penegasan batas wilayah baik di darat maupun di laut. Untuk mendukung ini, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Peraturan No. 1 tahun 2006 (selanjutnya disebut Permendagri) tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah.
Perlu diperhatikan bahwa istilah ”penentuan” dan ”penegasan” memiliki pengertian yang berbeda. Penentuan mengacu kepada penetapan batas di atas peta, sedangkan penegasan adalah penetapan titik-titik batas di lapangan. Dengan kata lain, penegasan adalah tindak lanjut dari penentuan batas. Hal ini ditegaskan dalam Permendagri yang menyebutkan bahwa “penegasan batas daerah dititikberatkan pada upaya mewujudkan batas daerah yang jelas dan pasti baik aspek yuridis maupun fisik di lapangan” (Pasal 2 ayat 1).
Penegasan batas darat meliputi beberapa langkah yaitu penelitian dokumen, pelacakan batas, pemasangan pilar batas, pengukuran dan penentuan posisi pilar batas, dan pembuatan peta batas. Dalam penegasan batas ini, seperti yang secara eksplisit disebutkan dalam Permendagri pasal 4 ayat 2, wajib diterapkan prinsip geodesi. Jelas terlihat dalam hal ini bahwa peran surveyor geodesi sangat penting dalam penegasan batas daerah.
Terkait kewenangan daerah di wilayah laut, alasan perlunya batas laut adalah untuk menyelesaikan tumpang tindih klaim (overlapping claim) daerah di wilayah laut. Seperti dijelaskan dalam UU No.32/2004, sebuah provinsi yang memiliki laut berhak atas kewenangan laut sejauh 12 mil laut dari garis dasar (biasanya garis pantai). Tentu bisa dipahami bahwa akan terjadi tumpang-tindih klaim jika ada dua provinsi berseberangan (opposite) yang berjarak kurang dari 24 mil laut atau dua provinsi yang berdampingan (adjecent) dalam satu wilayah daratan pulau seperti Jogja dan Jateng. Untuk menghindari sengketa, maka perlu ditarik garis batas yang disepakati oleh semua pihak yang berkepentingan.
Permendagri juga menegaskan bawah ada 6 langkah utama yang harus dilakukan dalam penentuan batas wilayah laut yaitu penelitian dokumen, pelacakan batas, pemasangan pilar dan titik acuan, penentuan titik awal dan garis dasar, pengukuran dan penentuan batas, dan pebuatan peta batas. Berbeda dengan batas darat, pemasangan pilar tidak dilakukan di titik batas, yang notabene di tengah laut, tetapi di darat (pantai) yang dijadikan referensi dalam menentukan posisi titik batas maritim antar provinsi.
Secara teknis, aspek yang sangat penting dalam penegasan batas daerah adalah prinsip geodesi atau survei pemetaan. Hal yang harus diperhatikan dalam penentuan dan penegasan batas adalah jenis batas yang akan digunakan, teknologi yang dipilih terkait kualitas hasil yang diharapkan, serta partisipasi masyarakat yang secara langsung akan tekena dampak akibat adanya penegasan batas tersebut.
Untuk darat, misalnya, batas bisa ditentukan dengan unsur alam (sungai, watershed, dan danau), dan unsur buatan (jalan, rel kereta, saluran irigasi, dan pilar batas). Penggunaan unsur-unsur alam akan mengakibatkan batas menjadi dinamis akibat perubahan bentang alam. Hal inilah yang mengakibatkan bergesernya batas antara DIY dan Jateng. Namun demikian, penggunaan unsur alam ini umumnya mudah diidentifikasi oleh masyarakat sekitar.
Untuk batas dari unsur buatan seperti pilar batas, penentuan posisi yang akurat merupakan hal penting. Dalam kaidah geodesi, penentuan posisi pilar batas harus dinyatakan dalam koordinat dengan datum dan sistem proyeksi yang jelas. Angka koordinat tanpa spesifikasi datum yang pasti sesungguhnya tidak menjelaskan apa-apa. Koordinat yang sama jika datumnya berbeda akan mengacu pada posisi yang berbeda di lapangan. Sebaliknya, suatu posisi tertentu di lapangan bisa dinyatakan dengan koordinat yang berbeda jika datum dan sistem proyeksinya berbeda.
Terkait dengan ketelitian posisi/koordinat titik batas, Permendagri juga sudah memberikan spesifikasi yang rinci. Ketelitian ini tentunya terkait dengan teknologi dan metode penentuan posisi yang digunakan. Penentuan posisi dengan Global Positioning System (GPS), yaitu penentuan posisi dengan satelit, adalah salah satu yang direkomendasikan. Namun demikian, penggunaan GPS sendiri harus memperhatikan jenis dan metode pengukurannya untuk mendapatkan posisi dengan ketelitian yang disyaratkan. Pengukuran dengan GPS navigasi (handheld) seperti yang sekarang populer di masyarakat berupa peranti seukuran handphone tentu saja menghasilkan ketelitian posisi yang lebih rendah dibandingkan penggunaan GPS jenis geodetik yang dilakukan secara relatif (deferensial). Tim Penegasan Batas di tingkat provinsi maupun pusat harus memahami hal ini.
Dalam era otonomi di mana luas daerah menjadi salah satu indikator dalam perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU), batas daerah menjadi sangat penting artinya. Tanpa batas yang tegas, luas tidak mungkin dihitung. Oleh karena itu, penentuan dan penegasan batas merupakan agenda penting dalam melaksanakan otonomi daerah.
Terkait DAU, ada sebuah wacana bahwa luas wilayah yang berpengaruh terhadap besarnya DAU yang diterima suatu daerah seharusnya bukan saja luas daratan seperti yang berlaku sekarang, tetapi juga luas laut. Hal ini untuk menciptakan keadilan bagi daerah yang berbentuk kepulauan di mana luas daratannya lebih sempit dari luas wilayah laut yang menghubungkan pulau-pulau dalam provinsi tersebut. Meskipun masih wacana, hal ini telah menjadi kajian serius berbagai pihak, dan ini juga mengindikasikan bahwa penentuan (delimitasi) batas maritim antar daerah menjadi penting.
Lepas dari perhitungan DAU, menentuan batas maritim tetap harus mengacu kepada prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan untuk memecah belah daerah. Bisa dikatakan bahwa penentuan batas maritim ini adalah dalam rangka menghitung luas saja, bukan dalam rangka memberikan kewenangan penuh kepada daerah untuk menguasai laut.
Memang membicarakan batas tidak cukup dalam satu artikel. Sangat banyak aspek yang harus diperhitungkan. Satu hal yang penting dan menjadi PR pemerintah daerah adalah bawah penentuan dan penegasan batas merupakan agenda yang harus dijadikan prioritas. Perangkat hukum untuk inipun telah dipersiapkan. Jika sumberdaya adalah persoalannya, maka kerjasama bisa dilakukan dengan pihak terkait seperti lembaga kajian/pendidikan, pihak swasta dan pemerintah pusat. Mari kita mulai!
1Dosen Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika FT UGM yang mengampu mata kuliah Penentuan dan Penegasan Batas Wilayah dan sekaligus peneliti pada Pusat Kajian Kewilayahan dan Perbatasan FT UGM - Bakosurtanal.
More...