Mengikuti Sidang Umum PBB di gedung Sekretarit PBB, New York merupakan pengalaman yang menarik. Sebagai pengamat, penulis dapat mengikuti dengan seksama jalannya negosiasi yang kadang alot. Saat itu terjadi konsultasi informal pembahasan resolusi hukum laut (
law of the sea) yang berkutat tidak saja pada masalah isi tetapi juga bahasa. Pengalaman menarik itu mengingatkan bahwa nasib kelautan dan hukum laut planet ini sedang dibicarakan di ruangan itu.
Tahun ini Konvensi PBB tentang hukum laut yang dikenal dengan
United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS) telah berumur 25 tahun. Orang menyebutnya
Constitution of the Oceans karena dipandang sebagai bentuk kodifikasi hukum laut yang paling komprehensif sepanjang sejarah peradaban manusia. Konferensi untuk mewujukan konvensi tersebut berlangsung tidak kurang dari sembilan tahun sebelum akhirnya disetujui dan diratifikasi oleh sebagian besar negara pantai (
coastal states) di dunia. Kini ada 155 negara yang meratifikasinya termasuk Indonesia dengan UU No.17/1985.
Salah satu hal penting yang diatur dalam UNCLOS 1982 dan terkait erat dengan Indonesia adalah yurisdiksi dan batas maritim internasional. UNCLOS mengatur kewenangan sebuah negara pantai terhadap wilayah laut (laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi ekskluif, dan landas kontinen). Selain itu diatur juga tatacara penarikan garis batas maritim jika terjadi tumpang tindih klaim antara dua atau lebih negara bertetangga, baik yang bersebelaan (
adjacent) maupun berseberangan (
opposite).
Indonesia yang berada di antara dua samudera dan dua benua memiliki sepuluh tetangga yaitu India, Thailand, Malaysia, Vietnam, Singapura, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste. Penetapan batas maritim sudah dilakukan sejak tahun 1969 dengan Malaysia ketika UNCLOS 1982 belum ada. Hingga kini, 18 perjanjian batas maritim sudah disepakati sehingga tidak berlebihan jika ada pendapat yang mengatakan bahwa Indonesia termasuk sangat produktif dalam menyelesaikan batas maritim dengan negara tetangga. Meski demikian, PR Indonesia masih tersisa.
Harus diakui bahwa perjalanan Bangsa Indonesia masih diwarnai riak-riak yang terkait sengketa batas maritim. Kasus Ambalat yang mencuat di awal tahun 2005, isu pulau terluar, dan perbatasan dengan Singapura yang masih belum tuntas adalah sebagain kisah yang meramaikan media massa bahkan hingga saat ini. Cerita tentang Sipadan dan Ligitan bahkan menjadi legenda yang siap dikisahkan kembali kapan saja. Kini setelah UNCLOS berusia 25 tahun, ada baiknya mengingat kembali kejadian itu dan mengambil pelajaran darinya untuk membangun kisah masa depan yang lebih baik.
Meluruskan Mitos Sipadan dan LigitanSebagian masyarakat memahami bahwa dua pulau Indonesia ini direbut Malaysia. Saatnya kita benar-benar paham bahwa Indonesia tidak pernah kehilangan pulau. Sipadan dan Ligitan adalah dua pulau “tak bertuan” yang coba diklaim oleh Indonesia dan Malaysia tetapi dimenangkan oleh Malaysia karena alasan penguasaan efektif.
“Kemenangan” ini tidak saja karena usaha Malaysia tetapi juga Inggris sebagai pendahulunya. Inggrislah yang telah melakukan usaha yang menguatkan penguasaan atas kedua pulau itu baik berupa pemberlakuan hukum maupun pendirian dan pemeliharaan mercusuar. Perlu juga diingat bahwa penguasaan efektif yang dimaksud tidak terkait pembangunan resort oleh Malaysia karena faktor-faktor yang dipertimbangkan adalah sebelum tahun 1969 seperti disepakati kedua negara. Apapun yang terjadi setelah 1969 tidak ada kaitannya dengan kedaulatan atas kedua pulau tersebut.
Ada baiknya kita membaca secara seksama hasil keputusan Mahkamah Internasional yang secara mudah bisa didapatkan di Internet untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik. Pemahaman ini penting untuk menghindarkan kita dari kesalahan menghujat pihak-pihak yang tidak semestinya dihujat. Meski demikian, memang harus diakui bahwa tidak semua berita di media massa menyampaikan duduk perkara kasus ini secara benar. Lebih jauh lagi, ada kalanya pejabat negara juga berkomentar emosional dan tanpa tanpa pemahaman yang memadai sehingga memperburuk suasana. Menyebut Ambalat sebagai pulau dan menuduh Malaysia tidak berhak mengklaim lebih dari 12 mil wilayah laut karena bukan negara kepulauan adalah dua contoh komentar yang tidak pada tempatnya. Tidak mengherankan jika masyarakat salah mengerti dan kadang muncul reaksi nasionalisme berlebih.
Langkah ke depanAda setidaknya tiga hal yang harus kita lakukan bersama untuk menuntaskan PR batas maritim yang akhirnya berujung pada kehidupan berbangsa yang lebih damai. Hal pertama adalah memusatkan perhatian pada penyelesaian batas maritim yang masih tertunda. Saya yakin, hal ini pastilah sudah menjadi agenda pemerintah bersama institusi terkait. Negosiasi dengan Malaysia dan Filipina sedang berlangsung, demikian pula penjajagan dengan Palau sudah dilakukan. Delimitasi landas kontinen melebihi 200 mil laut pun sedang dilakukan dan siap untuk diserahkan kepada PBB. Usaha ini memerlukan konsentrasi dan dukungan kita, terutama media massa.
Hal kedua adalah melakukan pemeliharaan dan sosialisasi batas maritim yang sudah ada. Menetapkan batas maritim bukanlah akhir dari segalanya. Menjaga dan memelihara batas menjadi tantangan yang juga sangat sulit. Pewujudan batas dalam peta dengan spesifikasi yang memadai termasuk mensosialisasikannya kepada pihak berkepentingan (nelayan, masyarakat pesisir, dll) adalah keharusan. Tanpa sosialisasi dan pemahaman yang benar tentang posisi dan status batas maritim, penangkapan nelayan karena melewati garis batas tetap akan terjadi. Saatnya kita belajar dan peduli dengan wilayah dan perbatasan kita.
Hal ketiga adalah meningkatkan kepakaran batas maritim dari aspek legal, politis maupun teknis. Memang batas maritim merupakan pesoalan hukum dan politis. Yang tidak banyak diketahui masyarakat umum adalah pentingnya keahlian teknis dalam hal ini. Memang tidak banyak berita di koran yang membahas pentingnya penentuan koordinat titik batas dengan datum geodesi yang jelas, misalnya, sehingga sebagian masyarakat hanya melihatnya dari sudut pandang politis dan hukum.
Indonesia, menurut hemat penulis, memiliki banyak pakar hukum tetapi masih memerlukan orang-orang yang menekuni aspek teknis. Perlu lebih banyak ilmuwan kebumian (geodesi, geofisika, hydrografi, geologi) yang menekuni aspek teknis hukum laut untuk mendukung tim batas maritim Indonesia di masa depan. Tentu saja bukan berarti pakar yang ada sekarang tidak mumpuni, kuantitas perlu ditingkatkan dan regenerasi adalah hal yang tidak bisa diabaikan.
Banyak jalan untuk meningkatkan kepakaran ini. Adanya mata kuliah formal tentang batas wilayah di Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika UGM merupakan salah satu langkah yang baik. Peluang fellowship yang diberikan oleh United Nations dan Nippon Foundation untuk melakukan penelitian terkait selama sembilan bulan di luar negeri dan kantor PBB merupakan kesempatan yang sangat baik untuk diikuti oleh generasi muda Indonesia (lihat
http://www.un.org/Depts/los/nippon/).
Selain itu, pendirian pusat studi yang mengkaji isu batas martim di berbagai negara di seluruh dunia merupakan cara untuk belajar dari pengalaman orang lain. Pemerintah dan institusi pendidikan sudah semestinya memberi dukungan terhadap kegiatan penelitian yang terkait batas maritim ini.
Di saat UNCLOS berumur 25 tahun, sudah semestinya kita belajar lebih banyak lagi. Perjuangan Ir. Djuanda Kartawidjaja dengan deklarasinya di tahun 1958 yang melahirkan konsep Wawasan Nusantara semestinya tetap menjadi inspirasi bagi Indonesia yang adalah negara bahari. Mari kita mulai mengajarkan anak kita menggambar pemandangan laut, tidak hanya dua buah gunung dengan jalan di tengahnya. Mari menanamkan kesadaran bahari sejak dini.