Nenek moyangku orang pelaut
Gemar mengarung luas samudera
Menerjang ombak tiada takut
Menempuh badai sudah biasa ...
Penggalan lagu di atas sangat populer bagi beberapa generasi Indonesia. Jika pembaca mengenyam pendidikan dasar sebelum tahun 90an, lagu itu pastilah wajib dihafalkan dan dinyanyikan di sekolah. Entahlah, apakah kini lagu tersebut masih sering dinyanyikan oleh anak-anak sekolah. Yang terang, anak-anak sekarang konon jauh lebih pintar menggambar pemandangan gunung dibandingkan pemandangan laut. Apakah ini pertanda identitas bangsa bahari telah luntur pada generasi Indonesia?
Sesungguhnya klaim bahwa nenek moyang kita adalah pelaut sangatlah beralasan. Sudah menjadi hafalan bahwa 2/3 dari wilayah Indonesia adalah laut dengan panjang pantai mencapai 81 ribu km. Bentuk negara kita yang berupa kepulauan juga telah mendapat pengakuan internasional. Pertanyaannya sekarang, apakah yang menjadi pelaut hanyalah nenek moyang kita dan kita tidak? Mari kita tinjau sejenak perjalanan bangsa ini, bangsa bahari yang pernah jaya pada masanya.
Tahun 1908 adalah tonggak kebangkitan nasional. Selanjutnya pada tahun 1928 pemuda Indonesia menegaskan pengakuannya atas satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa yaitu Indonesia. Semangat kesatuan ini pula yang akhirnya mengantarkan Indonesia pada kemerdekaan tahun 1945.
Pada tahun 1939 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim 1939 atau Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939 yang akhirnya diadopsi oleh pemerintah Indonesia. Ordonansi ini menyatakan klaim atas laut teritorial selebar 3 (tiga) mil diukur dari garis pantai setiap pulau. Dengan berlakunya ordonansi ini, bisa dibayangkan bahwa kawasan laut di luar 3 mil dari garis pantai merupakan laut bebas. Hal ini tentunya tidak menguntungkan bagi keamanan nasional.
Kenyataan di atas memotivasi Perdana Menteri Ir. H. Djoeanda Kartawidjaja untuk mendeklarasikan wilayah maritim Indonesia yang baru. Pernyataan ini dikenal sebagai Deklarasi Djoeanda yang disampaikan pada tanggal 13 Desember 1957. Deklarasi Djoeanda menegaskan wilayah Indonesia darat laut dan udara sebagai satu kesatuan yang utuh tanpa memandang ukuran masing-masing pulau. Saat itu juga dikemukakan konsep garis pangkal kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pulau terluar Indonesia. Laut teritorial yang berukuran 12 mil laut diukur dari garis pangkal kepulauan tersebut. Deklarasi Djoeanda inilah yang merupakan cikal bakal Wawasan Nusantara.
Deklarasi Djoeanda ini ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia. Dalam undang-udang ini telah ditentukan secara teknis titik pangkal dan garis pangkal kepulauan Indonesia untuk kepentingan klaim maritim. Perkembangan selanjutnya ditandai dengan disepaktinya batas maritim dengan Malaysia tahun 1969 dan 1970 disusul dengan Thailand (1971), Australia (1971, 1972), Singapura (1973), PNG (1073) India (1974) dan beberapa perjanjian lain. Secara unilateral, Indonesia juga menyatakan klaim atas Landas Kontinen (1973) dan Zona Ekonomi Eksklusif (1983).
Dalam perkembangan selanjutnya, PBB menyepakati Konvensi Hukum Laut pada tahun 1982 dan Indonesia telah meratifikasinya tahun 1985 melalui UU. No.17/1985. Sejak itu, Indonesia tunduk kepada Konvensi Hukum Laut tersebut yang dikenal juga dengan Constitution of the Oceans, karena diakui merupakan bentuk hukum tertulis paling komprehensif tentang kelautan.
Sebagai bangsa bahari, perhatian terhadap laut merupakan keharusan. Hal yang perlu diperhatikan terkait pemanfaatan sumberdaya laut adalah adanya kewenangan yang jelas bagi suatu negara pantai. Dalam hal ini, tegasnya batas maritim menjadi penting. Indonesia berbatasan maritim dengan sepuluh negara tetangga yaitu India, Thailand, Malaysia, Vietnam, Singapura, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste. Walaupun cukup banyak perjanjian batas maritim yang sudah disepakati dengan tetangga, Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah.
Harus diakui bahwa perjalanan Bangsa Indonesia masih diwarnai riak-riak yang terkait sengketa batas maritim. Kasus Ambalat yang mencuat di awal tahun 2005, isu pulau terluar, dan perbatasan dengan Singapura yang masih belum tuntas adalah sebagian kisah yang meramaikan media massa bahkan hingga saat ini. Cerita tentang Sipadan dan Ligitan bahkan menjadi legenda yang siap dikisahkan kembali kapan saja. Singkatnya, masih ada banyak tunggakan pekerjaan yang harus diselesaikan.
Ada setidaknya tiga hal yang harus kita lakukan bersama untuk menuntaskan PR batas maritim demi kehidupan berbangsa yang lebih damai. Hal pertama adalah memusatkan perhatian pada penyelesaian batas maritim yang masih tertunda. Hal ini pastilah sudah menjadi agenda pemerintah bersama institusi terkait. Negosiasi dengan Malaysia, Singapura dan Filipina sedang berlangsung, demikian pula penjajagan dengan Palau sudah dilakukan. Delineasi landas kontinen melebihi 200 mil laut pun sedang dilakukan dan siap untuk diserahkan kepada PBB. Usaha ini memerlukan konsentrasi dan dukungan kita, terutama media massa.
Hal kedua adalah melakukan pemeliharaan dan sosialisasi batas maritim yang sudah ada. Menetapkan batas maritim bukanlah akhir dari segalanya. Menjaga dan memeliharanya menjadi tantangan yang juga sangat sulit. Pewujudan batas dalam peta dengan spesifikasi yang memadai termasuk mensosialisasikannya kepada pihak berkepentingan (nelayan, masyarakat pesisir, dll) adalah keharusan. Tanpa sosialisasi dan pemahaman yang benar tentang posisi dan status batas maritim, penangkapan nelayan karena melewati garis batas tetap akan terjadi.
Hal ketiga adalah meningkatkan kepakaran batas maritim dari aspek legal, politis maupun teknis. Memang batas maritim merupakan pesoalan hukum dan politis. Yang tidak banyak diperhatikan masyarakat umum adalah pentingnya keahlian teknis dalam hal ini. Memang tidak banyak berita di koran yang membahas pentingnya penentuan koordinat titik batas dengan datum geodesi yang jelas, misalnya, sehingga sebagian masyarakat hanya melihatnya dari sudut pandang politis dan hukum. Perlu lebih banyak ilmuwan kebumian (geodesi, geofisika, hydrografi, geologi) yang menekuni aspek teknis hukum laut untuk mendukung tim batas maritim Indonesia di masa depan.
Tujuan akhir dari semua itu adalah terciptanya rasa aman bagi masyarakat yang berujung pada peningkatan kesejahteraan. Harus disadari bahwa di kawasan perbatasan, perhatian terhadap pembangunan sangatlah penting. Kenyataan bahwa masyarakat kita di Pulau Miangas (dekat Filipina) lebih familiar dengan mata uang Peso, Bahasa Tagalog, dan jaringan GSM Filipina, misalnya, merupakan indikasi bahwa harus ada yang diperbaiki. Filipina memang tidak akan mengklaim Pulau Miangas sebagai wilayahnya tetapi fenomena ini, dalam beberapa hal, bisa dilihat sebagai ancaman sosial dan politis bagi Indonesia sebagai negara kepulauan.
Saatnya kita peringati 100 tahun kebangkitan nasional dengan kesadaran sebagai bangsa bahari. Mari kita ajarkan anak-anak kita menggambar pemandangan laut untuk menanamkan kesadaran bahari sejak dini. Kita adalah juga pelaut, yang gemar mengarung luas samudera.
Gemar mengarung luas samudera
Menerjang ombak tiada takut
Menempuh badai sudah biasa ...
Penggalan lagu di atas sangat populer bagi beberapa generasi Indonesia. Jika pembaca mengenyam pendidikan dasar sebelum tahun 90an, lagu itu pastilah wajib dihafalkan dan dinyanyikan di sekolah. Entahlah, apakah kini lagu tersebut masih sering dinyanyikan oleh anak-anak sekolah. Yang terang, anak-anak sekarang konon jauh lebih pintar menggambar pemandangan gunung dibandingkan pemandangan laut. Apakah ini pertanda identitas bangsa bahari telah luntur pada generasi Indonesia?
Sesungguhnya klaim bahwa nenek moyang kita adalah pelaut sangatlah beralasan. Sudah menjadi hafalan bahwa 2/3 dari wilayah Indonesia adalah laut dengan panjang pantai mencapai 81 ribu km. Bentuk negara kita yang berupa kepulauan juga telah mendapat pengakuan internasional. Pertanyaannya sekarang, apakah yang menjadi pelaut hanyalah nenek moyang kita dan kita tidak? Mari kita tinjau sejenak perjalanan bangsa ini, bangsa bahari yang pernah jaya pada masanya.
Tahun 1908 adalah tonggak kebangkitan nasional. Selanjutnya pada tahun 1928 pemuda Indonesia menegaskan pengakuannya atas satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa yaitu Indonesia. Semangat kesatuan ini pula yang akhirnya mengantarkan Indonesia pada kemerdekaan tahun 1945.
Pada tahun 1939 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim 1939 atau Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939 yang akhirnya diadopsi oleh pemerintah Indonesia. Ordonansi ini menyatakan klaim atas laut teritorial selebar 3 (tiga) mil diukur dari garis pantai setiap pulau. Dengan berlakunya ordonansi ini, bisa dibayangkan bahwa kawasan laut di luar 3 mil dari garis pantai merupakan laut bebas. Hal ini tentunya tidak menguntungkan bagi keamanan nasional.
Kenyataan di atas memotivasi Perdana Menteri Ir. H. Djoeanda Kartawidjaja untuk mendeklarasikan wilayah maritim Indonesia yang baru. Pernyataan ini dikenal sebagai Deklarasi Djoeanda yang disampaikan pada tanggal 13 Desember 1957. Deklarasi Djoeanda menegaskan wilayah Indonesia darat laut dan udara sebagai satu kesatuan yang utuh tanpa memandang ukuran masing-masing pulau. Saat itu juga dikemukakan konsep garis pangkal kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pulau terluar Indonesia. Laut teritorial yang berukuran 12 mil laut diukur dari garis pangkal kepulauan tersebut. Deklarasi Djoeanda inilah yang merupakan cikal bakal Wawasan Nusantara.
Deklarasi Djoeanda ini ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia. Dalam undang-udang ini telah ditentukan secara teknis titik pangkal dan garis pangkal kepulauan Indonesia untuk kepentingan klaim maritim. Perkembangan selanjutnya ditandai dengan disepaktinya batas maritim dengan Malaysia tahun 1969 dan 1970 disusul dengan Thailand (1971), Australia (1971, 1972), Singapura (1973), PNG (1073) India (1974) dan beberapa perjanjian lain. Secara unilateral, Indonesia juga menyatakan klaim atas Landas Kontinen (1973) dan Zona Ekonomi Eksklusif (1983).
Dalam perkembangan selanjutnya, PBB menyepakati Konvensi Hukum Laut pada tahun 1982 dan Indonesia telah meratifikasinya tahun 1985 melalui UU. No.17/1985. Sejak itu, Indonesia tunduk kepada Konvensi Hukum Laut tersebut yang dikenal juga dengan Constitution of the Oceans, karena diakui merupakan bentuk hukum tertulis paling komprehensif tentang kelautan.
Sebagai bangsa bahari, perhatian terhadap laut merupakan keharusan. Hal yang perlu diperhatikan terkait pemanfaatan sumberdaya laut adalah adanya kewenangan yang jelas bagi suatu negara pantai. Dalam hal ini, tegasnya batas maritim menjadi penting. Indonesia berbatasan maritim dengan sepuluh negara tetangga yaitu India, Thailand, Malaysia, Vietnam, Singapura, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste. Walaupun cukup banyak perjanjian batas maritim yang sudah disepakati dengan tetangga, Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah.
Harus diakui bahwa perjalanan Bangsa Indonesia masih diwarnai riak-riak yang terkait sengketa batas maritim. Kasus Ambalat yang mencuat di awal tahun 2005, isu pulau terluar, dan perbatasan dengan Singapura yang masih belum tuntas adalah sebagian kisah yang meramaikan media massa bahkan hingga saat ini. Cerita tentang Sipadan dan Ligitan bahkan menjadi legenda yang siap dikisahkan kembali kapan saja. Singkatnya, masih ada banyak tunggakan pekerjaan yang harus diselesaikan.
Ada setidaknya tiga hal yang harus kita lakukan bersama untuk menuntaskan PR batas maritim demi kehidupan berbangsa yang lebih damai. Hal pertama adalah memusatkan perhatian pada penyelesaian batas maritim yang masih tertunda. Hal ini pastilah sudah menjadi agenda pemerintah bersama institusi terkait. Negosiasi dengan Malaysia, Singapura dan Filipina sedang berlangsung, demikian pula penjajagan dengan Palau sudah dilakukan. Delineasi landas kontinen melebihi 200 mil laut pun sedang dilakukan dan siap untuk diserahkan kepada PBB. Usaha ini memerlukan konsentrasi dan dukungan kita, terutama media massa.
Hal kedua adalah melakukan pemeliharaan dan sosialisasi batas maritim yang sudah ada. Menetapkan batas maritim bukanlah akhir dari segalanya. Menjaga dan memeliharanya menjadi tantangan yang juga sangat sulit. Pewujudan batas dalam peta dengan spesifikasi yang memadai termasuk mensosialisasikannya kepada pihak berkepentingan (nelayan, masyarakat pesisir, dll) adalah keharusan. Tanpa sosialisasi dan pemahaman yang benar tentang posisi dan status batas maritim, penangkapan nelayan karena melewati garis batas tetap akan terjadi.
Hal ketiga adalah meningkatkan kepakaran batas maritim dari aspek legal, politis maupun teknis. Memang batas maritim merupakan pesoalan hukum dan politis. Yang tidak banyak diperhatikan masyarakat umum adalah pentingnya keahlian teknis dalam hal ini. Memang tidak banyak berita di koran yang membahas pentingnya penentuan koordinat titik batas dengan datum geodesi yang jelas, misalnya, sehingga sebagian masyarakat hanya melihatnya dari sudut pandang politis dan hukum. Perlu lebih banyak ilmuwan kebumian (geodesi, geofisika, hydrografi, geologi) yang menekuni aspek teknis hukum laut untuk mendukung tim batas maritim Indonesia di masa depan.
Tujuan akhir dari semua itu adalah terciptanya rasa aman bagi masyarakat yang berujung pada peningkatan kesejahteraan. Harus disadari bahwa di kawasan perbatasan, perhatian terhadap pembangunan sangatlah penting. Kenyataan bahwa masyarakat kita di Pulau Miangas (dekat Filipina) lebih familiar dengan mata uang Peso, Bahasa Tagalog, dan jaringan GSM Filipina, misalnya, merupakan indikasi bahwa harus ada yang diperbaiki. Filipina memang tidak akan mengklaim Pulau Miangas sebagai wilayahnya tetapi fenomena ini, dalam beberapa hal, bisa dilihat sebagai ancaman sosial dan politis bagi Indonesia sebagai negara kepulauan.
Saatnya kita peringati 100 tahun kebangkitan nasional dengan kesadaran sebagai bangsa bahari. Mari kita ajarkan anak-anak kita menggambar pemandangan laut untuk menanamkan kesadaran bahari sejak dini. Kita adalah juga pelaut, yang gemar mengarung luas samudera.
No comments:
Post a Comment