Karya I Made Andi Arsana, ST., ME Batas Maritim Antarnegara - Sebuah Tinjauan Teknis dan Yuridis (Gadjah Mada University Press, 2007) more...

Tuesday, October 17, 2006

INSIDEN PENEMBAKAN NELAYAN DAN BATAS MARITIM

Muhammad Iqbal Taftazani *)

Beberapa waktu yang lalu terjadi sebuah peristiwa yang cukup mengejutkan kita semua, yaitu adanya insiden penembakan nelayan Indonesia oleh Tentara Laut Diraja Malaysia (TLDM). Insiden tersebut terjadi di sekitar Pulau Berhala di selat Malaka. Insiden itu sendiri terjadi setelah nelayan Indonesia dianggap telah memasuki wilayah perairan Malaysia.

Terlepas dari efek insiden penembakan tersebut bagi kedua Negara (Malaysia dan Indonesia), ada hal menarik yang kemudian perlu kita pahami bersama terkait dengan batas wilayah terutama batas maritim antar negara. Pernyataan tentang nelayan Indonesia yang memasuki perairan Malaysia tentu tidak bisa dileaskan dari pemahaman terhadap batas maritim antara Indonesia dan Malaysia di Selata Malaka.

Seperti kita ketahui bahwa Negara Indonesia terletak di antara dua samudera dan dua benua yang bertetangga dengan beberapa negara. Mengingat jaraknya yang relatif dekat, Indonesia berkepentingan untuk menetapkan batas maritim dengan 10 negara tetangga yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nu Gini, Australia, dan Timor Timur. Hal ini dalam rangka mempertegas kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia atas wilayah maritim di sekitarnya.

Ada sejarah panjang yang terangkai mengenai batas wilayah Negara antara Indonesia dan Malaysia, baik batas darat maupun batas maritim. Yang menarik untuk dibahas pada topik ini adalah mengenai batas maritim antara Indonesia dan Malaysia. Pada tahun 1969 sudah ada perjanjian antara Indonesia dan Malaysia mengenai batas landas kontinen (dasar laut) antara kedua Negara. Perjanjian tersebut juga mencakup perbatasan di pulau Natuna dan semenanjung Malaysia di sebelah barat Laut Cina Selatan. Dan pada tahun 1970 ada tambahan perjanjian batas antara Malaysia dan Indonesia mengenai perbatasan Laut Wilayah (territorial sea).

Laut wilayah adalah kawasan perairan suatu Negara yang diukur sejauh 12 mil laut dari garis pangkal suatu Negara (biasanya berupa garis pantai). Jika ada dua Negara yang berdekatan sama-sama mengklaim 12 mil laut untuk laut wilayah dan bertampalan (overlap) maka perlu ditegaskan batas antar perairan laut wilayah tersebut. Batas antar laut wilayah tersebut mencakup tubuh air (water column). Batas inilah yang kemudian digunakan sebagai penanda adanya pelanggaran di wilayah perairan seperti apa yang dituduhkan kepada nelayan Indonesia. Tanpa adaya batas laut yang memisahkan tubuh air, sesungguhnya tidak ada dasar untuk mengatakan sebuah kapal telah memasuki wilayah perairan negara lain mengingat aktivitas kapal nelayan ini adalah di air, bukan di dasar laut, bukan di udara. Mari kita lihat kondisi batas laut antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka.

Batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia ditarik dari dekat Singapura dan berakhir di dekat Pula Batu Mandi di Selat Malaka. Artinya tidak ada batas perairan yang berupa batas laut wilayah antara Malaysia dan Indonesia setelah Pulau Batu Mandi ke arah Barat Laut di Selat Malaka. Yang ada hanyalah batas landas kontinen yang ditetapkan pada tahun 1969. Batas landas kontinen, sesuai dengan hukum laut internasional, merupakan batas yang memisahkan dasar laut dua atau lebih negara. Batas landas kontinen tersebut tidak mengatur batas tubuh air. Sehingga secara umum, batas landas kontinen ini berlaku dalam hal pengelolaan lapisan di bawah laut (dasar laut) yang biasanya digunakan untuk pertambangan lepas pantai (off shore).

Menilik kembali insiden yang terjadi, lokasi insiden penembakan tersebut terjadi di sekitar Pulau Berhala. Sayangnya, tidak diketahui secara pasti lokasinya (yang dinyatakan dengan koordinat lokasi insiden). Secara geografis, letak pulau Berhala berada di sebelah utara Pulau Batu Mandi. Artinya lokasi insiden berada di sebelah utara titik paling utara batas laut wilayah Indonesia dan Malaysia. Jika hal tersebut benar (mengenai lokasi insiden) maka di wilayah tersebut tidak ada batas tubuh air. Yang ada hanyalah batas landas kontinen yang membatasi dasar lautnya saja dan tidak membatasi tubuh air.

Artinya apa? Bahwa insiden tersebut terjadi di daerah yang belum jelas batas tubuh airnya. Dengan kata lain, tidak ada dasar hukum yang dijadikan pegangan untuk mengatakan Nelayan Indonesia telah memasuki wilayah perairan Malaysia. Namun begitu, seperti yang diberitakan di media massa, tuduhan atas pelanggaran batas tidak hanya dilakukan oleh Malaysia, tetapi juga Indonesia. Tangkap-menangkap nelayan memang sesuatu yang cukup lumrah di Selat Malaka. Hal ini mengisyaratkan adanya suatu penerimaan secara defakto bahwa batas dasar laut di Selat Malaka juga dianggap batas tubuh air.

Insiden penembakan nelayan tersebut, idealnya, bisa dicegah oleh kedua negara dengan menetapkan batas antara perairan Indonesia dan Malaysia, terutama yang membatasi tubuh air. Dalam hal ini perlu ditetapkan batas maritim untuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Selat Malaka. Dengan adanya batas tersebut, dan didukung oleh sosialisasi batas maritim yang baik dari kedua pemerintah bertetangga, para nelayan idealnya akan mengetau apakah posisinya sudah melewati batas atau belum. Selain itu, adanya batas perairan akan semakin mengefektifkan patroli keamanan perbatasan yang dilakukan kedua Negara. Masing-masing petugas patroli tidak akan ada prasangka yang berlebihan dalam hal yang berkaitan dengan apakah suatu pihak sudah melewati perbatasan (perairan) atau belum.

Dengan adanya hal tersebut, diharapkan dapat meningkatkan jalinan persahabatan kedua Negara, terlebih lagi kedua Negara berasal dari rumpun yang sama, yaitu Melayu.
Wallahu a’lam…

*) Mahasiswa Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika, Universitas Gadjah Mada

More...

Sunday, October 15, 2006

A BIG Project: TALOS Translation

Manual on the Technical Apects of the UNCLOS (TALOS) sudah diperbaharui tahun 2006 ini. Setelah selama 13 tahun bertahan dengan edisi pertama, akhirnya TALOS diperbaharui tahun ini.

Sebagai negara kepulauan yang banyak berurusan dengan hukum laut dan batas maritim. Sangat sedikit orang Indonesia yang tertarik mendalami hukum laut. Jika ada, maka sebagian besar bergelut dengan aspek hukup dan politis, tanpa menyentuh perihal teknis. TALOS sesunggguhnya bisa menjadi sumber yang sangat bagus bagi yang ingin mendalami aspek teknis UNCLOS.

Pemahaman terhadap TALOS adalah mutlak untuk menghasilkan solusi implementasi UNCLOS secara komprehensif, terutama dari aspek teknis. Meskipun dokumen ini diterbitkan dalam beberapa bahasa, secara formal tidak ada terbitan dalam Bahasa Indonesia. Hal ini tentunya mempersempit lingkup pembaca TALOS di Indonesia, terutama mereka yang tidak tertarik untuk membaca dalam bahasa selain Bahasa Indonesia. Hal inilah yang menjadi motivasi perlunya dilakukan penerjemahan TALOS ke dalam Bahasa Indonesia.

Penerjemahan TALOS ini adalah sebuah proyek idealis yang akhirnya disambut baik oleh Dr. Sobar Sutisna, Bakosurtanal.

Proyek ini utamanya dimotori oleh Pusat Kajian Kewilayahan dan Perbatasan FT UGM-Bakosurtanal (atau dikenal juga dengan nama Pusat Studi Batas Wilayah) dengan melibatkan mahasiswa yang tertarik dengan aspek teknis hukum laut. Penerjemahan ini direncanakan akan berakhir dengan diterbitkannya sebuah dokumen resmi yang diakui oleh lembaga terkait.

Tunggu perkembangan selanjutnya.

More...

Tuesday, October 10, 2006

The Australia’s Submission of the Extended Continental Shelf (ECS): A Study on Its Impact to the Indonesia-Australia Maritime Boundaries and Indonesia

A Study on Its Impact to the Indonesia-Australia Maritime Boundaries and Indonesian Potential Claim over ECS

I Made Andi Arsana
madeandi@ugm.ac.id

Bambang A. W. P.
bambangawp@mail.ugm.ac.id


Abstract
On 15 November 2004 Australia submitted its claim over Extended Continental Shelf (ECS) to the Commission on the Limits of the continental shelf (CLCS) through the Secretary General of the United Nations. The submission was to confirm Australia’s claim over continental shelf beyond 200 nautical miles (nm) measured from its baseline. The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) states that every coastal state intending to claim continental shelf beyond 200 nm, is required to submit the claim together with supporting data and convincing arguments to the CLCS.
Australia’s documents of claims have been accessible in the internet through the UN Department of Ocean Affairs and the Law of the Sea (DOALOS)’s website. This is open for comments and critics from any other countries before a decision is made by the CLCS. Some countries have submitted their official comments concerning the Australia’s submission including, the US, France, East Timor, Japan, and Russia. Indonesia, being the geographically nearest country to Australia, has not submitted its comments to the Australia’s submission for unknown reason.
This paper is to criticize the Australia’s claim over ECS, study its impact to Indonesia-Australia maritime boundaries, and analyse potential response of Indonesia to the claim with regards to Indonesia’s national interests. To do this, a spatial and technical assessment will be required concerning Australia’s ECS claim and Indonesia’s potential claims. CARIS LOTS™, a specialised Geographic Information Systems (GIS) application, will be used to process spatial data required for the analysis.

Keyword: Extended continental shelf, UNCLOS, CLCS, maritime boundary

This has been accepted for oral presentation in PIT HAGI 2006, Semarang.

More...