Karya I Made Andi Arsana, ST., ME Batas Maritim Antarnegara - Sebuah Tinjauan Teknis dan Yuridis (Gadjah Mada University Press, 2007) more...

Saturday, March 29, 2008

Kuliah Umum di Undip


Silahkan download bahan kuliah umum di sini

More...

Wednesday, March 26, 2008

Global warming and the threat to sovereignty

Read also a similar article in The Jakarta Post

Global Warming (GW) is currently one of the most popular issues. United Nations Framework Conference on Climate Change (UNFCCC) held in Bali last year was one of the indications.

GW certainly has a lot of impacts. This article deals with the impact of GW to sovereignty, especially to sea level rise and its relation to small islands, maritime jurisdiction, and international maritime boundaries.

Indonesia is an archipelagic state with more than 17 thousands islands. According to the President Decree no. 78/2005, Indonesia has 92 small islands. These small islands include several outer islands, with strategic values to national sovereignty. On these outer islands, basepoints are placed to construct baselines for references in measuring maritime jurisdiction including territorial sea, contiguous zone, exclusive economic zone and continental shelf. The baselines are also the reference in delimiting maritime boundaries with ten neighboring states: India, Thailand, Malaysia, Singapore, Vietnam, Philippines, Palau, Papua New Guinea, Australia and East Timor.

With regard to temperature rise, the UN reveals that during 20th century, global temperature increase was up to 0.74°C. If carbon dioxide concentrations were stabilized at 550 ppm the average warming would likely be in the range of 2-4.5°C, with the best estimate of 3°C.

Other phenomenon is the melt down of polar ice. This contributes to sea level rise of 17 cm during the 20th century. It is predicted that sea level rise may be within the range of 28-58 cm by the end of the 21st century (UN, 2007).

One of the impacts of sea level rise is the submergence of small islands or low-land area. Low-lying South Pacific nations like Kiribati, and Vanuatu, for example, are sinking beneath the waves (NZ Herald, 2006).

Meanwhile, more dramatic news has been spreading out in Indonesia. It is predicted to lose around 2,000 islands in 2030 due to GW. Interestingly, this news has been asserted by Prof. Indroyono Susilo from the Department of Marine Affairs and Fisheries (Kompas.com, 27 February 2008) and the head of Yogyakarta Bureau of Meteorology and Geophysics (MBG) (Antara, 23 May 2007). Murjaya, for example stated that sea level rise may be up to 29 cm in 2030. It can be inferred that at least 2,000 islands in Indonesia are less then 29 cm in height. Unfortunately, it has not been confirmed whether the supporting data is available. Murjaya, on the other hand, also confirmed that it was not based on research conducted by BMG.

Even though the numbers of islands sinking due to GW cannot be easily predicted, the potential is however obvious. Submergence of small outer islands will, consequently change baselines, which in turn may alter the status and extent of Indonesia’s maritime area. This, therefore, is a serious issue that may threaten sovereignty (island submergence) and sovereign rights (maritime jurisdiction).

Although we should be aware of any issues concerning GW and submergence of islands, we need to be clear of some matters to avoid misunderstanding. For example, we should understand the definition of island according to the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Article 121 states that an island should be naturally formed, surrounded by water, and above sea level during high tide. The last criterion closely relates to Geodesy and Hydrography as it deals with sea tide observation. Without precise data of sea tide and height of every single island in Indonesia, we cannot tell numbers of islands sinking due to GW. It is even difficult to tell which objects are island and which are not.

With regards to international maritime boundaries, does GW have anything to do? Sea level rise can definitely change coast line and, ultimately, baselines. This can alter the extent of maritime claims but will not change the already agreed maritime boundaries with neighbors. This is pursuant to Article 62 (2)(a) of the Vienna Convention on the Law of Treaties of 1969 which serves to exclude boundary treaties from the rule that a party to a treaty may invoke “a fundamental change in circumstances” as a ground for terminating a treaty on notice. In addition, the Vienna Convention on Succession of States in Respect of Treaties of 1978 also provides that a succession of states “does not as such affect a boundary established by a treaty or obligations and rights established by a treaty and relating to the regime of a boundary” (Article 11, Boundary regimes). In other words, GW will not change the already established maritime boundaries but may affect the boundaries that yet to be settled.

Being an archipelagic state, GW should be Indonesia’s serious concern as it may affect sovereignty. The question is how to fight GW? Can this global phenomenon be influenced by an individual action? It should be admitted that the change in energy usage behavior may be the key to fight GW. Unfortunately, this, most of the time, is beyond the power of ordinary people, but in the hand of only few people with power in the society.

What we can do is something small but still makes an impact. Taufik Ismail wrote that we might not be able to be a banyan tree but we can be bushes around a lake. We can also be grass, which might not be tall and strong but it strengthen the river banks. Even though we cannot do something like Andrew Shepherd (Movie The American President, 1995) who asserted that the White House will send “Resolution 455, an energy bill requiring a twenty percent reduction of the emission of fossil fuels over the next ten years”, at least we can say “no plastic bag please” when buying a book. What small thing have you done to fight GW today?

More...

Friday, March 21, 2008

BSM 2008: Scientific and Exotic

Bali Scientific Meeting 2008 adalah satu dari sedikit pertemuan ilmiah geospasial yang berlokasi di Bali. Biasanya, pertemuan semacam ini lebih sering di Jawa, tempat para pendekar geospasial berguru, menyebarkan kanuragan dan bahkan bertapa. Menggagas sebuah acara semacam ini di Bali adalah sebuah ide unik dan berani. Meski demikian, ada juga yang ‘mencurigai’ acara ini dipaskan dengan long weekend yang berlangsung hingga 4 hari. Apapun itu, jalan ceritanya menarik untuk disimak, setidaknya oleh mereka yang tidak sempat datang.

Saya menyebutnya eksotik, bukan saja karena dilaksanakan di Bali yang memang kata banyak orang adalah Pulau Surga, tetapi karena kemasan acaranya juga sangat kental dengan budaya dan kesenian Bali. Lihat saja, misalnya, welcome dinner-nya yang diadakan di sebuah tempat pertunjukan berupa rumah tradisional Bali dengan arsitektur yang kental Asta Kosala Kosali-nya. Lantunan Jegog, gamelan tradisional Bali dari bambu yang diciptakan tahun 1912, menemani para undangan dan peserta BSM 2008 duduk di atas tikar pandan yang digelar di hamparan rumput hijau setengah berembun. Prof. Aris Poniman berbisik, “saya tidak tahu, mengapa semua ini menjadi pantes terasa, sesuatu yang kalau tidak di Bali mungkin akan terasa tabu.” Menyambut para pejabat tinggi dan pendekar geospasial di gelaran tikar pandan di atas rumput yang setengah berembun memang menjadi pantas, apalagi sambil menyaksikan tarian penyambutan khas Bali yang dibawakan empat perempuan cantik nan molek.

Undangan dan para peserta terbius oleh cerita lelaki setengah baya, pemimpin Sekaa Jegog yang mengisahkan sejarah Jegog dan perkembangannya dengan runut. Adalah Kiang (Kakek) Geliduh yang dengan kreativitas dan keisengannya menciptakan Jegog di awal abad ke-20 silam. Jenis gamelan ini kini bertahan dan menjadi salah satu ciri khas Kabupaten Jembrana, yang Bapak Bupati-nya terkenal inovatif itu.

Pagi tanggal 19 Maret 2008, acara inti dimulai di Balai Riset dan Observasi Kelautan (BROK) di Perancak, Jembrana. Sebelumnya, banyak peserta yang baru datang dari luar kota termasuk beberapa peserta dari UGM, UNDIP dan UPN Yogyakarta. Prof. Indroyono Susilo sendiri datang pada pagi itu ketika acara sudah dimulai.

Empat pembicara utama tampil bersamaan yaitu Dr. Bambang Sapto Pratomosunu (Ristek), Dr. Asep Karsidi (Kesra) Prof. Aris Poniman (Bakosurtanal) dan Prof. Yasuhiro Sugimori (Unud) dengan panduan Prof. Bangun Muljo Sukojo (ITS). Masing-masing membawakan tema yang menarik dan membuat peserta antusiasi menyimak. Dr. Bambang memulai dengan program riset unggulan ristek, diikuti Dr. Asep Karsidi dengan manajemen bencana. Pembicara ketiga adalah Prof. Aris Poniman dengan topik Inderaja untuk survei pemetaan yang dilanjutkan Prof. Sugimori yang memaparkan aplikasi SIG untuk menentukan Total Alowance Catch (TAC) dalam penangkapan eksploitasi ikan. Semua topik menarik walaupun sayang sekali tidak banyak waktu yang tersedia untuk diskusi.

Prof. Indroyono Susilo yang datang ketika keempat pembicara sedang ada di mimbar akhirnya memulai keynote speech yang sangat menarik. Inti dari presentasi beliau adalah bagaimana memasukkan aspek dan peran geospasial sehingga menjadi bagian formal dari kebijakan. Memiliki para pendekar geospasial yang kini sudah ada di posisi pembuat keputusan seharusnya menjadi nilai lebih sehingga bisa menjadikan geospasial mewarnai dan hidup dalam kebijakan-kebijakan pemerintah. Prof. Indroyono mengemukakan sebuah filosofi menarik bahwa data yang dimiliki harus diubah menjadi informasi bermanfaat yang mewujud menjadi pengetahuan (knowlegde). Meski demikian, dia tidak boleh berhenti sebelum akhirnya menjadi bagian dari kebijakan (policy). Pemaparan yang sangat menginspirasi ini memang selayaknya didengarkan oleh siapa saja yang bermain di dunia geospasial. ”Anda, sebagai anggota MAPIN, memerlukan hanya dua langkah menuju presiden” katanya suatu ketika. ”Anda tinggal sampaikan gagasan Anda ke saya, saya bilang ke menteri dan menteri meneruskan ke presiden. Sesungguhnya, gagasan MAPIN sangat mungkin menjadi kebijakan presiden dan itu tidak sulit jika mau” imbuhnya sangat inspiratif. Inilah gunanya hadir dalam sebuah pertemuan ilmiah yang manfaatnya tidak bisa dinilai dengan Rp. 100 ribu uang registrasi dan sekian rupiah ongkos pesawat :)

Mengingat waktu yang terbatas dan jumlah pemakalah yang tidak sedikit, panitia memutuskan presentasi dilakukan secara paralel di tiga lokasi berbeda. Berbagai presentasi menarik disuguhkan oleh pemakalah yang terkait aplikasi RS GIS untuk kelautan. Ada juga penelitian dasar seperti kajian karakteristik spektral bakau di Estuari Perancak. Selain itu, ada beberapa presentasi terkait kawasan konservasi laut daerah (KKLD) serta zonasi dan koservasi ekosistem pesisir. Landas kontinen di luar 200 mil laut dan usaha Indonesia dalam mengajukan klaimnya kepada PBB juga menjadi salah satu topik presentasi. Sayang sekali, karena ketiga sesi berjalan secara paralel, tidak mungkin mengikuti presentasi semua pemakalah. Untunglah panitia melakukan langkah terpuji dengan membagikan file presentasi semua pemakalah dalam bentuk CD. Hal ini tentu sangat membantu peserta lain dalam memahami materi pemakalah yang tidak sempat disaksikannya.

Yang menarik, dalam BSM 2008 ini ada presentasi dari 2 mahasiswa: Farid Yuniar dan Krisna Arimjaya. Keduanya adalah mahasiswa semester 8 Teknik Geodesi UGM yang baru pertama kali menulis makalah untuk pertemuan ilmiah. Farid mempresentasikan aplikasi SIG berbasis Internet untuk visualisasi Pulau Pulau Kecil di Indonesia sedangkan Krisna menyajikan aplikasi Google Maps API untuk sistem informasi batas maritim Indonesia. Meski mungkin masih cukup sederhana untuk peserta BSM 2008, gagasan ini berhasil mereka bawakan dengan baik. Tanggapan dari pesertapun cukup antusias.

Acara BSM 2008 ditutup oleh Kepala BROK sekitar pukul 5 sore. Dalam pidato penutupannya beliau sempat berkelakar ”kok mau-maunya peserta ditipu, diajak diskusi di tempat yang sangat terpencil di Perancak” yang disambut tawa peserta. Meskipun tidak bisa menyembunyikan kelelahannya, sore itu panitia nampak gembira karena acara berlangsung sukses. Kehadiran tidak kurang dari 70 peserta dengan sekitar 25 presentasi adalah salah satu buktinya. Selain itu, pelaksanaan forum di tempat yang jauh dari kota membuat peserta ”betah” dan dengan antusias mengikuti setiap sesi. Jika BSM 2008 dilaksanakan di Denpasar atau dekat Pantai Kuta, mungkin akan lain ceritanya :)

Setalah acara berfoto bersama, semua peserta kembali ke penginapan masing-masing atau bandara Ngurah Rai untuk bertolak ke tempat asalnya. Beberapa peserta langsung diantar dengan bus yang sudah disiapkan panitia. Ini adalah bentuk lain dari kinerja panitia yang perlu diapresiasi sekaligus, tentunya, sebagai konsekuensi pelaksanaan forum ilmiah di tempat terpencil :)

Sore menjelang malam, peserta meninggalkan Perancak yang sunyi untuk kembali melanjutkan rencana masing-masing. Ada yang bersiap-siap menghabiskan sisa liburan di Bali, ada yang malam itu juga bertolak ke tempat asalnya, ada juga yang menyempatkan diri mengunjungi kolega dan sanak saudara di berbagai tempat di Bali. Perancak pun kembali sepi. Sepi dari riuhnya peserta Bali Scientifik Meeting 2008 yang ilmiah sekaligus eksotik.

More...

Saturday, March 15, 2008

Cameroon and Nigeria agree maritime border in Atlantic

Read here for English!

Sebuah berita baik seputar sengketa batas maritim berhenmbus dari Afrika. Nigeria dan Cameroon baru saja menyatakan kesepakatannya atas batas maritim antara ke dua negara di Atlantik yang kaya akan minyak.

Sengketa antara keduanya telah berlangsung sejak lama dan memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk secara serius menyelesaikannya. Kesepakatan ini sekaligus sebagai bukti bahwa Cameroon dan Nigeria benar-benar bisa menyelesaikan sengketa dengan cara damai, tidak dengan kekerasan yang selama ini diprediksi banyak pihak.

Silahkan baca juga ini

More...

Friday, March 14, 2008

Google Maps API Pulau-Pulau Kecil Indonesia


Taken from http://faridyuniar.web.ugm.ac.id/


Aplikasi Sistem Informasi Geografis Berbasis Internet untuk Meningkatkan Pemahaman Geospasial Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia

Farid Yuniar, Febri Iswanto, Listyo Fitri, I Made Andi Arsana
Email: madeandi@ugm.ac.id
Jurusan Teknik Geodesi
Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
Jl. Grafika No. 2 Yogyakarta, 55281
P: (0274) 902122 F: 520226 E: geodesi@ugm.ac.id, http://geodesi.ugm.ac.id

Intisari

Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri lebih dari 17 ribu pulau besar dan kecil. Kenyataan juga menunjukkan bahwa 2/3 dari wilayah Indonesia adalah laut. Kondisi ini mengindikasikan bahwa Indonesia adalah bangsa bahari. Sebagai bangsa baharí, masyarakat seharusnya memiliki pemahaman yang memadai terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang merupakan bagian penting dari negara kepulauan.

Dalam Peraturan Presiden No.78/2005 yang kini diperkuat Undang-undang no 27/2007 disebutkan bahwa Indonesia memiliki 92 pulau kecil yang strategis secara posisi maupun fungsi ekonomi. Sementara itu, akses terhadap informasi, terutama menyangkut posisi dan lokasi pulau-pulau kecil tersebut kurang meamadai. Pembangunan dan pengusahaan tentu saja sulit dilakukan jika ternyata tidak terjadi pemahamanan yang benar tentang posisi dan kondisi pulau-pulau kecil yang dimaksud.

Kurangnya pemahaman ini memicu berbagai kesalahan dalam mengelola dan memperlakukan wilayah Indonesia. Sengketa batas maritim dan isu kehilangan pulau yang sering terjadi merupakan salah satu indikasi hal ini. Fenomena ini memotivasi perlunya meningkatkan pemahaman atas wilayah Indonesia terutama kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Pendekatan geospasial yaitu dengan data dan informasi yang bereferensi bumi dipandang sebagai salah satu langkah efektif dalam meningkatkan pemahaman masyarakat Indonesia. Salah satu media yang diharapkan dapat menjembatani kepentingan ini adalah sistem informasi geospasial berbasis Internet. Makalah ini memaparkan pembuatan Sistem Informasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menggunakan Google Maps API. Sistem ini menggunakan data dari domain publik yang gratis dan legal, bersifat open source, dan dapat didiseminasikan dengan mudah. Dengan begitu diharapkan akan tercipta sistem informasi yang murah, mudah diakses dan efektif untuk meningkatkan pemahaman masyarakat Indonesia akan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Kata kunci: sistem informasi geospasial, wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, Google Maps API

Untuk informasi lebih lanjut hubungi saya

More...

Saturday, March 08, 2008

Memperingati 100 Tahun Kebangkitan Bangsa Bahari

Nenek moyangku orang pelaut
Gemar mengarung luas samudera
Menerjang ombak tiada takut
Menempuh badai sudah biasa ...

Penggalan lagu di atas sangat populer bagi beberapa generasi Indonesia. Jika pembaca mengenyam pendidikan dasar sebelum tahun 90an, lagu itu pastilah wajib dihafalkan dan dinyanyikan di sekolah. Entahlah, apakah kini lagu tersebut masih sering dinyanyikan oleh anak-anak sekolah. Yang terang, anak-anak sekarang konon jauh lebih pintar menggambar pemandangan gunung dibandingkan pemandangan laut. Apakah ini pertanda identitas bangsa bahari telah luntur pada generasi Indonesia?

Sesungguhnya klaim bahwa nenek moyang kita adalah pelaut sangatlah beralasan. Sudah menjadi hafalan bahwa 2/3 dari wilayah Indonesia adalah laut dengan panjang pantai mencapai 81 ribu km. Bentuk negara kita yang berupa kepulauan juga telah mendapat pengakuan internasional. Pertanyaannya sekarang, apakah yang menjadi pelaut hanyalah nenek moyang kita dan kita tidak? Mari kita tinjau sejenak perjalanan bangsa ini, bangsa bahari yang pernah jaya pada masanya.

Tahun 1908 adalah tonggak kebangkitan nasional. Selanjutnya pada tahun 1928 pemuda Indonesia menegaskan pengakuannya atas satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa yaitu Indonesia. Semangat kesatuan ini pula yang akhirnya mengantarkan Indonesia pada kemerdekaan tahun 1945.

Pada tahun 1939 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim 1939 atau Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939 yang akhirnya diadopsi oleh pemerintah Indonesia. Ordonansi ini menyatakan klaim atas laut teritorial selebar 3 (tiga) mil diukur dari garis pantai setiap pulau. Dengan berlakunya ordonansi ini, bisa dibayangkan bahwa kawasan laut di luar 3 mil dari garis pantai merupakan laut bebas. Hal ini tentunya tidak menguntungkan bagi keamanan nasional.

Kenyataan di atas memotivasi Perdana Menteri Ir. H. Djoeanda Kartawidjaja untuk mendeklarasikan wilayah maritim Indonesia yang baru. Pernyataan ini dikenal sebagai Deklarasi Djoeanda yang disampaikan pada tanggal 13 Desember 1957. Deklarasi Djoeanda menegaskan wilayah Indonesia darat laut dan udara sebagai satu kesatuan yang utuh tanpa memandang ukuran masing-masing pulau. Saat itu juga dikemukakan konsep garis pangkal kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pulau terluar Indonesia. Laut teritorial yang berukuran 12 mil laut diukur dari garis pangkal kepulauan tersebut. Deklarasi Djoeanda inilah yang merupakan cikal bakal Wawasan Nusantara.

Deklarasi Djoeanda ini ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia. Dalam undang-udang ini telah ditentukan secara teknis titik pangkal dan garis pangkal kepulauan Indonesia untuk kepentingan klaim maritim. Perkembangan selanjutnya ditandai dengan disepaktinya batas maritim dengan Malaysia tahun 1969 dan 1970 disusul dengan Thailand (1971), Australia (1971, 1972), Singapura (1973), PNG (1073) India (1974) dan beberapa perjanjian lain. Secara unilateral, Indonesia juga menyatakan klaim atas Landas Kontinen (1973) dan Zona Ekonomi Eksklusif (1983).

Dalam perkembangan selanjutnya, PBB menyepakati Konvensi Hukum Laut pada tahun 1982 dan Indonesia telah meratifikasinya tahun 1985 melalui UU. No.17/1985. Sejak itu, Indonesia tunduk kepada Konvensi Hukum Laut tersebut yang dikenal juga dengan Constitution of the Oceans, karena diakui merupakan bentuk hukum tertulis paling komprehensif tentang kelautan.

Sebagai bangsa bahari, perhatian terhadap laut merupakan keharusan. Hal yang perlu diperhatikan terkait pemanfaatan sumberdaya laut adalah adanya kewenangan yang jelas bagi suatu negara pantai. Dalam hal ini, tegasnya batas maritim menjadi penting. Indonesia berbatasan maritim dengan sepuluh negara tetangga yaitu India, Thailand, Malaysia, Vietnam, Singapura, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste. Walaupun cukup banyak perjanjian batas maritim yang sudah disepakati dengan tetangga, Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah.

Harus diakui bahwa perjalanan Bangsa Indonesia masih diwarnai riak-riak yang terkait sengketa batas maritim. Kasus Ambalat yang mencuat di awal tahun 2005, isu pulau terluar, dan perbatasan dengan Singapura yang masih belum tuntas adalah sebagian kisah yang meramaikan media massa bahkan hingga saat ini. Cerita tentang Sipadan dan Ligitan bahkan menjadi legenda yang siap dikisahkan kembali kapan saja. Singkatnya, masih ada banyak tunggakan pekerjaan yang harus diselesaikan.

Ada setidaknya tiga hal yang harus kita lakukan bersama untuk menuntaskan PR batas maritim demi kehidupan berbangsa yang lebih damai. Hal pertama adalah memusatkan perhatian pada penyelesaian batas maritim yang masih tertunda. Hal ini pastilah sudah menjadi agenda pemerintah bersama institusi terkait. Negosiasi dengan Malaysia, Singapura dan Filipina sedang berlangsung, demikian pula penjajagan dengan Palau sudah dilakukan. Delineasi landas kontinen melebihi 200 mil laut pun sedang dilakukan dan siap untuk diserahkan kepada PBB. Usaha ini memerlukan konsentrasi dan dukungan kita, terutama media massa.

Hal kedua adalah melakukan pemeliharaan dan sosialisasi batas maritim yang sudah ada. Menetapkan batas maritim bukanlah akhir dari segalanya. Menjaga dan memeliharanya menjadi tantangan yang juga sangat sulit. Pewujudan batas dalam peta dengan spesifikasi yang memadai termasuk mensosialisasikannya kepada pihak berkepentingan (nelayan, masyarakat pesisir, dll) adalah keharusan. Tanpa sosialisasi dan pemahaman yang benar tentang posisi dan status batas maritim, penangkapan nelayan karena melewati garis batas tetap akan terjadi.

Hal ketiga adalah meningkatkan kepakaran batas maritim dari aspek legal, politis maupun teknis. Memang batas maritim merupakan pesoalan hukum dan politis. Yang tidak banyak diperhatikan masyarakat umum adalah pentingnya keahlian teknis dalam hal ini. Memang tidak banyak berita di koran yang membahas pentingnya penentuan koordinat titik batas dengan datum geodesi yang jelas, misalnya, sehingga sebagian masyarakat hanya melihatnya dari sudut pandang politis dan hukum. Perlu lebih banyak ilmuwan kebumian (geodesi, geofisika, hydrografi, geologi) yang menekuni aspek teknis hukum laut untuk mendukung tim batas maritim Indonesia di masa depan.

Tujuan akhir dari semua itu adalah terciptanya rasa aman bagi masyarakat yang berujung pada peningkatan kesejahteraan. Harus disadari bahwa di kawasan perbatasan, perhatian terhadap pembangunan sangatlah penting. Kenyataan bahwa masyarakat kita di Pulau Miangas (dekat Filipina) lebih familiar dengan mata uang Peso, Bahasa Tagalog, dan jaringan GSM Filipina, misalnya, merupakan indikasi bahwa harus ada yang diperbaiki. Filipina memang tidak akan mengklaim Pulau Miangas sebagai wilayahnya tetapi fenomena ini, dalam beberapa hal, bisa dilihat sebagai ancaman sosial dan politis bagi Indonesia sebagai negara kepulauan.

Saatnya kita peringati 100 tahun kebangkitan nasional dengan kesadaran sebagai bangsa bahari. Mari kita ajarkan anak-anak kita menggambar pemandangan laut untuk menanamkan kesadaran bahari sejak dini. Kita adalah juga pelaut, yang gemar mengarung luas samudera.

More...

Sunday, March 02, 2008

Melawan Global Warming, Menjaga Kedaulatan

Pemanasan global atau yang populer dengan istilah Global Warming (GW) menjadi salah satu isu paling hangat di seluruh dunia belakangan ini. Konferensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Perubahan Iklim atau UNFCCC yang dilangsungkan di Bali akhir tahun lalu merupakan salah satu bukti keseriusan isu ini. Konferensi yang berlangsung selama hampir dua minggu tersebut berhasil menyepakati Bali Roadmap yang akan mengantarkan Planet Bumi untuk menghadapi dan terutama melawan GW.

GW memiliki dampak yang sangat luas. Tentu tidak cukup tempat untuk membahas semuanya dalam tulisan ini, karenanya saya akan memfokuskan pada satu masalah saja. Bagaimana dampak GW terhadap kedaulatan, teruma ketika dikaitkan dengan peningkatan tinggi muka laut yang memengaruhi kondisi pulau-pulau, yurisdiksi wilayah maritim dan batas maritim suatu negara pantai dengan negara tetangganya?

Memahami Kepulauan Indonesia dan Batas Maritimnya
Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17 ribu pulau dan berbatasan dengan sepuluh negara tetangga yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste. Dengan kesepuluh negara tersebut, Indonesia berbatasan maritim dan sekaligus berbatasan darat dengan tiga diantaranya yaitu Malaysia (di Kalimantan), Papua Nugini dan Timor Leste.

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki banyak pulau kecil. Menurut Undang-undang No. 27/2007, ada 92 pulau kecil yang menjadi bagian dari Kepulauan Indonesia. Bagi Indonesia, pulau-pulau kecil, terutama yang berlokasi di pinggir kepulauan (pulau terluar) memiliki nilai strategis. Pada pulau-pulau terluar inilah ditempatkan titik-titik pangkal yang membentuk garis pangkal kepulauan. Garis pangkal ini melingkupi seluruh Kepulauan Indonesia dan merupakan acuan untuk mngukur lebar wilayah maritim Indonesia, baik itu laut teritorial (12 mil laut dari garis pangkal), zona tambahan (24 mil laut), zona ekonomi eksklusif (200 mil laut) dan landas kontinen (hingga 350 mil laut atau lebih). Garis pangkal ini juga menjadi referensi dalam menentukan garis batas maritim dengan negara tetangga jika terjadi sengketa atau tumpang tindih klaim.

GW dan Tenggelamnya Pulau-pulau
Berbagai pihak telah memublikasikan temuannya terkait meningkatnya suhu Bumi yang menyebabkan meningkatnya tingi muka laut. Data yang dilansir PBB dalam website resmi perubahan iklim menyatakan bahwa selama abad 20, peningkatan suhu global mencapai 0,74°C. Jika konsentrasi karbon dioksida tetap pada angka 550 ppm (parts per million) maka peningkatan suhu bisa mencapai 2 - 4,5°C, dengan perkiraan terbaik sebesar 3°C. Dengan kata lain, jika penurunan emisi karbon dioksida tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh maka peningkatan suhu yang drastis tidak bisa dihindarkan.

Fenomena lain yang teramati sebagai dampak pemanasan global adalah mencairnya es di kutub. Telah terbukti bahwa tutupan es di Antartika (Kutub Selatan) dan Greenland (Kutub Utara) berkurang massanya akibat pelelehan. Hal ini meningkatkan tinggi muka laut yang mencapai 17 cm selama abad 20. Dengan kondisi yang ada sekarang, dapat diperkirakan bahwa peningkatan tinggi muka laut di akhir abad ke-21 dapat mencapai angka 28-58 cm.

Salah satu akibat meningkatnya tinggi muka laut adalah tenggelamnya pulau-pulau kecil atau dataran rendah. Kawasan di Kepulauan Pasifik adalah yang selama ini diduga akan terkena dampak GW paling awal. Kiribati, misalnya, adalah salah satu negara kecil di kawasan Pasifik yang merasakan kekhawatiran tersebut. Presidennya, Anote Tong, mengungkapkan dalam Forum Tahunan Pacific Selatan di Fiji (2006) bahwa dengan tenggelamnya pulau-pulau dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan, mereka harus segera mencari tempat untuk mengungsi.

Negara di kawasan Pasifik yang juga rawan kena dampak GW adalah Vanuatu, Marshall Islands, Tuvalu, dan sebagian Papua Nugini. Satu desa di Pulau Tegua, Vanuatu, misalnya, dipaksa untuk mengungsi ke tempat yang lebih tinggi akibat banjir karena meningkatnya tinggi gelombang laut. Sebagai konsekuensi terjadinya pengungsian, Australia dan Selandia Baru diperkirakan akan menjadi tujuan pengungsi utama mengingat lokasinya paling dekat dengan negara-negara kecil di kawasan Pasifik.

Sementara itu, di Indonesia berkembang berita yang lebih dramatis. Indonesia diperkirakan akan kehilangan 2.000 pulau pada tahun 2030 akibat GW. Kabar ini sesungguhnya tidak bisa dipercaya begiu saja karena beredar lewat media informal dan tidak dikeluarkan oleh institusi resmi. Meski demikian, salah satu pernyatan formal diungkapkan oleh Kepala BMG Yogyakarta, Jaya Murjaya dalam Seminar Nasional Geografi di Universitas Negeri Yogyakarta bulan Mei 2007. Ketika dikonfirmasi secara personal, Murjaya mengungkapkan bahwa pernyataan itu juga dikutip dari berbagai sumber. Dengan kata lain, ini bukan hasil kajian Murjaya maupun BMG. Murjaya juga mengungkapkan prediksi peningkatan tinggi muka laut dapat mencapai 29 cm tahun 2030. Idealnya, kesimpulan tenggelamnya pulau ini harus didukung data yang menyatakan bahwa terdapat 2.000 pulau di Indonesia yang berketinggian kurang dari 29 cm di atas permukaan laut saat pasang tertinggi. Pernyataan ini tentunya memerlukan penelitian dan diskusi lebih lanjut.

Meskipun jumlah pulau Indonesia yang akan tenggelam akibat GW tidak bisa diprediksi dengan mudah, kenyataan bahwa tinggi muka laut terus meningkat memang dapat mengakibatkan hilangnya pulau. Hilangnya pulau kecil terluar akan mengubah garis pangkal yang akhirnya memengaruhi status dan luas wilayah maritim Indonesia. Ini adalah persoalan serius yang merupakan ancaman atas kedaulatan (sovereignty, terkait hilangnya pulau) dan hak berdaulat (sovereign rights, terkait wilayah maritim).

Perlu Khawatir atau Tidak?
Meskipun segala berita tentang GW terkait peningkatan tinggi muka laut dan hilangnya perlu diperhatikan, kehati-hatian tetap diperlukan untuk menghindari salah pengertian. Salah satu hal yang harus diperhatikan adalah definisi pulau menurut Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Pada pasal 121 UNCLOS, dinyatakan bahwa sebuah pulau harus terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan berada di atas permukaan laut ketika pasang tertinggi. Syarat terakhir terkait dengan disiplin geodesi. Hal ini mengindikasikan bahwa pulau harus selalu berada di atas permukaan laut, apapun yang terjadi, berapapun tinggi permukaan lautnya. Artinya, dalam mendefinisikan pulau atau sebelum menyatakan pulau hilang, harus ada pemahaman pasang surut laut (pasut) secara seksama.

Pemantauan pulau dengan teknologi penginderaan jauh melalui interpretasi citra satelit, misalnya, memiliki risiko yang harus dipahami dengan baik. Salah satu risikonya adalah penggunaan citra yang direkam pada saat air surut terendah. Akibatnya, sangat mungkin ada obyek geografi di tengah laut yang terlihat pada citra satelit seperti pulau, padahal obyek geografi tersebut bisa saja tenggelam ketika air pasang tertinggi. Obyek semacam ini tidak bisa dikatakan pulau. Kurangnya pemahaman akan hal ini dapat mengakibatkan kesalahan dalam mencermati fenomena naiknya tinggi muka laut dan tenggelamnya pulau.

Hal lain sehubungan dengan dampak GW adalah batas maritim dengan negara tetangga. Perubahan tinggi muka laut memang dapat mengubah konfigurasi garis pantai yang pada akhirnya mengubah garis pangkal. Perubahan garis pangkal dapat mengakibatkan perubahan klaim maritim tetapi TIDAK akan berpengaruh pada garis batas maritim yang SUDAH ditetapkan dalam traktat (perjanjian). Hal ini sesuai dengan ketentuan Vienna Convention on the Law of Treaties 1969, yang mengecualikan traktat batas [maritim] dalam hal perubahan/pembatalan. Ketentuan lain yang mendukug hal ini adalah Vienna Convention on Succession of States in Respect of Treaties 1978.

Di Selat Malaka, misalnya, Indonesia sudah menyepakati batas dasar laut dengan Malaysia. Garis batas ini tidak akan terpengaruh oleh perubahan garis pantai/garis pangkal akibat GW. Meski demikian, perubahan garis pangkal semacam ini tentu saja dapat memengaruhi penentuan garis batas maritim yang belum disepakati, seperti penetapan batas zona ekonomi eksklusif di Selat Malaka. Sederhananya, perubahan garis pangkal dapat berpengaruh pada garis batas yang akan disepakati di masa depan, tetapi tidak berpengaruh pada garis batas yang sudah ada saat ini.

Bagaimana Melawan GW?
Ada banyak sekali alasan untuk melawan GW, walaupun jelas tidaklah mudah. Dalam konteks negara kepulauan seperti Indonesia, menjaga kedaulatan adalah salah satu alasannya. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana melawan GW? Bisakah fenomena global yang menyangkut kehidupan seluruh Planet Bumi ini dipengaruhi atau diperbaiki oleh tindakan individu? Memang harus diakui bahwa perubahan di tingkat penggunaan energi dunia adalah kunci dalam melawan GW. Sayangnya hal ini tidak berada di tangan orang kebanyakan melainkan pada kekuatan sekelompok elit di dunia.

Yang bisa saya dan Anda lakukan adalah berbuat hal kecil yang nyata. Saya teringat puisi Taufik Ismail yang pernah dikirimkan seorang kawan. Memang ada kalanya kita tidak bisa menjadi beringin. Setidaknya kita bisa menjadi belukar yang tumbuh di tepi danau atau bahkan rumput, tetapi rumput yang menguatkan tanggul jalan. Meski tidak bisa seperti Andrew Shepherd di film The American President yang dengan lantang mengatakan bahwa Gedung Putih akan mengirim Resolusi 455 kepada Kongres yang mensyaratkan pengurangan 20% emisi minyak fosil dalam 10 tahun, setidaknya saya bisa menolak tas plastik ketika membeli sebuah buku. Tindakan sederhana ini tidak akan serta merta menghentikan GW, tetapi seperti kata Dewi Lestari, dia bisa saja menjadi bola salju yang semakin besar dan memberi pengaruh melebihi yang pernah saya dan Anda bayangkan. Apa yang sudah Anda lakukan untuk melawan GW hari ini?


More...