Karya I Made Andi Arsana, ST., ME Batas Maritim Antarnegara - Sebuah Tinjauan Teknis dan Yuridis (Gadjah Mada University Press, 2007) more...

Wednesday, November 22, 2006

PIT HAGI 31, Semarang 13-15 November 2006

Perhelatan tahunan oleh Himpunan Ahli Geofisika Indoensia kembali digelar. Kali ini, Pertemuah Ilmiah Tahunan diadakan di Hotel Patrajasa Semarang, 13-15 November 2006. Ini adalah PIT HAGI pertama di mana saya membawakan makalah, setelah 8 tahun yang lalu menjadi salah satu "kacung" di kepanitiaan :) [waktu itu masih mahasiswa semester 5]

Presentasi kali ini adalah hasil dari makalah yang ditulis bersama rekan mahasiswa Bambang A. W. Putro (Semester 7) dengan bahasan "Pengajuan Landas Kontinen Ekstensi Australia dan pengaruhnya bagi batas maritim Indoensia-Australia di Laut Timor". Presentasi berlangsung lancar, ada beberapa peserta yang bertanya dengan antusias (dan seperti agak emosi, begitu menyangkut kedaulatan dan hak berdaulat he..he..he..). Diskusi berjalan seru dan sayangnya 'saved by the bell'.

Singkat kata, partisipasi di PIT HAGI kali ini sangat terkesan karena bisa mempeluas jaringan pertemanan termasuk memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk mengenal lebih dekat dunia asosiasi prefesi. Tertarik dengan makalahnya? silahkan kontak saya.

More...

Thursday, November 09, 2006

I Made Andi Arsana and Ni Made Kesuma Putri , Yogyakarta

United Nations Convention on the Law of the Sea, UNCLOS, where Indonesia is a party to, indicates that a coastal State may extend its continental shelf claim beyond 200 nautical miles (nm). As defined by UNCLOS, continental shelf is “the seabed and subsoil of the submarine areas that extend beyond its territorial sea throughout the natural prolongation of its land territory to the outer edge of the continental margin”. To those with outer edge of continental margin less then 200 nm, they are entitled to 200 nm of continental shelf as long as there is no dispute with third parties. Meanwhile, a coastal state wishing to claim continental shelf beyond 200 nm (hereinafter referred to as extended continental shelf, ECS) has to submit its claim to the Commission on the Limits of the continental shelf (CLCS) through the UN Secretary-General.

As stated in Article 76 of UNCLOS, there are four important points to consider in determining the outer limit of the ECS. The first two points govern technical criteria on how to delimit the outer limit of ECS. These include the criteria of sedimentary rock thickness and the distance from the foot of continental slope. Meanwhile, the last two points relate to constraints in determining the outer limit of the ECS. They state that the outer limit of the ECS must not exceed 350 nm from baseline (usually coastline) or “shall not exceed 100 nautical miles from the 2,500 meter isobath, which is a line connecting the depth of 2,500 meters.” Detail explanation of these technical procedures can be read in Article 76 of UNCLOS, which is also available online at the United Nations’ website.

Meeting of the State Parties in 2001 indicated that 14 countries meet the technical criteria to claim ECS, including Indonesia. The deadline for submission has also been extended from 16 November 2004 to 12 May 2009. To some countries, including Indonesia, this is very good news as there will be more time to prepare for the submission. On the other hand, six coastal States (parties) have submitted their claims and their documents are accessible through the website of CLCS (http://www.un.org/Depts/los/clcs_new/clcs_home.htm). Those six parties include Russia, Brazil, Australia, Ireland, New Zealand and Joint submission by France, Ireland, Spain and the United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland. Any country can access the documents as well as respond to their claim. All responses will then be made available in the website for public access. Indonesia, once again, has not provided any response to other States’ ECS claim, not even to Australia’s as one of the nearest neighbors. Meanwhile, other countries including East Timor are very responsive to provide comments, especially to those related to their national interest. It is to us unclear, why Indonesia has not done so. There must be reasons for that.

With regard to the potency of Indonesian ECS claim, a global study of the United States Geological Survey (USGS) shows that Indonesia may possibly claim ECS for the maritime area to the west of Sumatra Island and to the south of Sumba Island. This, however, is a global study and can only be used as an initial reference. More comprehensive studies have to be carried out to find a more precise result of potency. Similarly, a study conducted by Indonesian Experts (Sutisna, et al., 2005) also highlighted the potency of Indonesian ECS claim for the maritime area to the west of Sumatra, to the south of Sumba and to the north of Papua. However, as indicated in their paper, their study needs further investigation for a more comprehensive result.

Submitting ECS claim, as indicated by CLCS, is by no mean an easy task. It requires comprehensive studies and reasonably complicated procedures for the submission to be accepted. UNCLOS says that “coastal State shall deposit with the Secretary-General of the United Nations charts and relevant information, including geodetic data, permanently describing the outer limits of its continental shelf.” This confirms that preparing ECS submission will involve hydrographic survey for data acquisition, geospatial data processing, and legal argument preparation to support technical aspects. As far as we are concerned, Indonesian government through its relevant institutions is currently conducted serious preparation including hydrographic survey for the area with ECS potency. Significant progress should have been achieved, we are sure.

With regard to its prospect, some opine that submitting ECS claim is not worth it. To them, cost it requires for preparation including field survey and document preparation is too high compared to benefit Indonesia may gain. It is wiser to spend that money for other sectors which are more important, such as health care and education. This opinion is, undoubtedly, worth considering. It is true that Indonesian government should not carelessly spend that much money for something with no good prospect. However, ECS claim is not a matter of today. It is not something that we can judge instantly whether it is beneficial or not. ECS claim is a future investment. It is not only a matter of economy and how large ocean resources can be exploited from the continental shelf but also legal existence and sovereign rights of Indonesia. ECS claim also to anticipate dispute that may occur due to ECS claim by other neighboring States.

Regardless of pros and cons, we hope Indonesian government has been thinking of this matter seriously. Let us see how we are going to extend our maritime claims.

More...

Tuesday, November 07, 2006

Permendagri Batas Daerah untuk Jamin Kepastian Hukum

Cegah Konflik, Perlu Sosialisasi
Kompas Yogyakarta, 7 November 2006

Sebuah kutipan:

Pendapat serupa dilontarkan oleh dosen Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika Fakultas Teknik UGM, I Made Andi Arsana. Menurutnya, jika pengelolaan sumber daya alam itu tidak dikompromikan dengan masyarakat, dan dirasa tidak adil, maka dapat memicu konflik sosial.

"Sehingga, masyarakat tidak akan kehilangan hak atas kepemilikan lahan sekaligus memperoleh kejelasan mengenai kewajiban mereka, misalnya pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB)," tutur Andi.

Slanjutnya

More...

Thursday, November 02, 2006

Arti Penting Penegasan Batas Wilayah Antar Daerah

I Made Andi Arsana, ST, ME1

Isu batas wilayah Jogja-Jateng belakangan ini marak dibicarakan. Sebuah berita mengatakan bahwa perubahan batas DIY-Jateng yang terjadi pada 213 titik menyebabkan menyempitnya wilayah Jogja.

Persoalan batas memang multi-dimensi yang melibatkan aspek legal, teknis, dan sosial ekonomi. Sengketa batas wilayah bisa menimbulkan berbagai persoalan yang terkait setidaknya dengan ketiga aspek tersebut. Tulisan ini tidak akan secara spesifik mengulas permasalahan batas antara DIY-Jateng, melainkan memberikan gambaran yang lebih umum sifatnya dan semoga bisa menjadi pengetahuan bagi siapa saja yang tertarik dan berkepentingan dengan perihal batas daerah.

Diberlakukannya Undang-undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah merupakan titik awal dilaksanakannya konsep otonomi daerah di Indonesia. Kini UU ini direvisi menjadi UU No. 32/2004 yang salah satunya mengatur penentuan dan penegasan batas wilayah baik di darat maupun di laut. Untuk mendukung ini, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Peraturan No. 1 tahun 2006 (selanjutnya disebut Permendagri) tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah.

Perlu diperhatikan bahwa istilah ”penentuan” dan ”penegasan” memiliki pengertian yang berbeda. Penentuan mengacu kepada penetapan batas di atas peta, sedangkan penegasan adalah penetapan titik-titik batas di lapangan. Dengan kata lain, penegasan adalah tindak lanjut dari penentuan batas. Hal ini ditegaskan dalam Permendagri yang menyebutkan bahwa “penegasan batas daerah dititikberatkan pada upaya mewujudkan batas daerah yang jelas dan pasti baik aspek yuridis maupun fisik di lapangan” (Pasal 2 ayat 1).

Penegasan batas darat meliputi beberapa langkah yaitu penelitian dokumen, pelacakan batas, pemasangan pilar batas, pengukuran dan penentuan posisi pilar batas, dan pembuatan peta batas. Dalam penegasan batas ini, seperti yang secara eksplisit disebutkan dalam Permendagri pasal 4 ayat 2, wajib diterapkan prinsip geodesi. Jelas terlihat dalam hal ini bahwa peran surveyor geodesi sangat penting dalam penegasan batas daerah.

Terkait kewenangan daerah di wilayah laut, alasan perlunya batas laut adalah untuk menyelesaikan tumpang tindih klaim (overlapping claim) daerah di wilayah laut. Seperti dijelaskan dalam UU No.32/2004, sebuah provinsi yang memiliki laut berhak atas kewenangan laut sejauh 12 mil laut dari garis dasar (biasanya garis pantai). Tentu bisa dipahami bahwa akan terjadi tumpang-tindih klaim jika ada dua provinsi berseberangan (opposite) yang berjarak kurang dari 24 mil laut atau dua provinsi yang berdampingan (adjecent) dalam satu wilayah daratan pulau seperti Jogja dan Jateng. Untuk menghindari sengketa, maka perlu ditarik garis batas yang disepakati oleh semua pihak yang berkepentingan.

Permendagri juga menegaskan bawah ada 6 langkah utama yang harus dilakukan dalam penentuan batas wilayah laut yaitu penelitian dokumen, pelacakan batas, pemasangan pilar dan titik acuan, penentuan titik awal dan garis dasar, pengukuran dan penentuan batas, dan pebuatan peta batas. Berbeda dengan batas darat, pemasangan pilar tidak dilakukan di titik batas, yang notabene di tengah laut, tetapi di darat (pantai) yang dijadikan referensi dalam menentukan posisi titik batas maritim antar provinsi.

Secara teknis, aspek yang sangat penting dalam penegasan batas daerah adalah prinsip geodesi atau survei pemetaan. Hal yang harus diperhatikan dalam penentuan dan penegasan batas adalah jenis batas yang akan digunakan, teknologi yang dipilih terkait kualitas hasil yang diharapkan, serta partisipasi masyarakat yang secara langsung akan tekena dampak akibat adanya penegasan batas tersebut.

Untuk darat, misalnya, batas bisa ditentukan dengan unsur alam (sungai, watershed, dan danau), dan unsur buatan (jalan, rel kereta, saluran irigasi, dan pilar batas). Penggunaan unsur-unsur alam akan mengakibatkan batas menjadi dinamis akibat perubahan bentang alam. Hal inilah yang mengakibatkan bergesernya batas antara DIY dan Jateng. Namun demikian, penggunaan unsur alam ini umumnya mudah diidentifikasi oleh masyarakat sekitar.

Untuk batas dari unsur buatan seperti pilar batas, penentuan posisi yang akurat merupakan hal penting. Dalam kaidah geodesi, penentuan posisi pilar batas harus dinyatakan dalam koordinat dengan datum dan sistem proyeksi yang jelas. Angka koordinat tanpa spesifikasi datum yang pasti sesungguhnya tidak menjelaskan apa-apa. Koordinat yang sama jika datumnya berbeda akan mengacu pada posisi yang berbeda di lapangan. Sebaliknya, suatu posisi tertentu di lapangan bisa dinyatakan dengan koordinat yang berbeda jika datum dan sistem proyeksinya berbeda.
Terkait dengan ketelitian posisi/koordinat titik batas, Permendagri juga sudah memberikan spesifikasi yang rinci. Ketelitian ini tentunya terkait dengan teknologi dan metode penentuan posisi yang digunakan. Penentuan posisi dengan Global Positioning System (GPS), yaitu penentuan posisi dengan satelit, adalah salah satu yang direkomendasikan. Namun demikian, penggunaan GPS sendiri harus memperhatikan jenis dan metode pengukurannya untuk mendapatkan posisi dengan ketelitian yang disyaratkan. Pengukuran dengan GPS navigasi (handheld) seperti yang sekarang populer di masyarakat berupa peranti seukuran handphone tentu saja menghasilkan ketelitian posisi yang lebih rendah dibandingkan penggunaan GPS jenis geodetik yang dilakukan secara relatif (deferensial). Tim Penegasan Batas di tingkat provinsi maupun pusat harus memahami hal ini.
Dalam era otonomi di mana luas daerah menjadi salah satu indikator dalam perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU), batas daerah menjadi sangat penting artinya. Tanpa batas yang tegas, luas tidak mungkin dihitung. Oleh karena itu, penentuan dan penegasan batas merupakan agenda penting dalam melaksanakan otonomi daerah.
Terkait DAU, ada sebuah wacana bahwa luas wilayah yang berpengaruh terhadap besarnya DAU yang diterima suatu daerah seharusnya bukan saja luas daratan seperti yang berlaku sekarang, tetapi juga luas laut. Hal ini untuk menciptakan keadilan bagi daerah yang berbentuk kepulauan di mana luas daratannya lebih sempit dari luas wilayah laut yang menghubungkan pulau-pulau dalam provinsi tersebut. Meskipun masih wacana, hal ini telah menjadi kajian serius berbagai pihak, dan ini juga mengindikasikan bahwa penentuan (delimitasi) batas maritim antar daerah menjadi penting.
Lepas dari perhitungan DAU, menentuan batas maritim tetap harus mengacu kepada prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan untuk memecah belah daerah. Bisa dikatakan bahwa penentuan batas maritim ini adalah dalam rangka menghitung luas saja, bukan dalam rangka memberikan kewenangan penuh kepada daerah untuk menguasai laut.
Memang membicarakan batas tidak cukup dalam satu artikel. Sangat banyak aspek yang harus diperhitungkan. Satu hal yang penting dan menjadi PR pemerintah daerah adalah bawah penentuan dan penegasan batas merupakan agenda yang harus dijadikan prioritas. Perangkat hukum untuk inipun telah dipersiapkan. Jika sumberdaya adalah persoalannya, maka kerjasama bisa dilakukan dengan pihak terkait seperti lembaga kajian/pendidikan, pihak swasta dan pemerintah pusat. Mari kita mulai!

1Dosen Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika FT UGM yang mengampu mata kuliah Penentuan dan Penegasan Batas Wilayah dan sekaligus peneliti pada Pusat Kajian Kewilayahan dan Perbatasan FT UGM - Bakosurtanal.

More...