Karya I Made Andi Arsana, ST., ME Batas Maritim Antarnegara - Sebuah Tinjauan Teknis dan Yuridis (Gadjah Mada University Press, 2007) more...

Tuesday, December 25, 2007

Ketika Pulau Batu Puteh Diperebutkan

Sengketa perebutan pulau nampaknya menjadi kasus yang populer belakangan ini. Tahun ini Mahkamah Internasional (International Court of Justice, ICJ) juga memutuskan kasus sengketa pulau yaitu antara Nicaragua dan Honduras dan kasus

More...

Thursday, December 20, 2007

The last day!

Three months do not seem to be very long. The three month internship in DOALOS ends tonight. I could not believe it. However, it is for real. The program is over tonight.

We went to see the head of Office of Legal Affairs in the Secretariat Building for an official farewell and also photo session. I was lucky for being appointed as the representative of the fellows to deliver a vote of thanks in English while another friend was supposed to be the representative for French. It was to be a great opportunity and I tried my best in order not to let my fellows down. It seemed to me that it was not so bad at all.

I ended my speech "I hope we can return to our country with better knowledge and better understanding and we can do something good, not just for our countries but also for the world if I may say"

More...

Tuesday, December 11, 2007

Paper completed and Presentation

This is one of the most important moments in my life with regards to the fellowship program. I finally completed my research paper and presented my research in front of the program adviser, all of my fellows and some DOALOS staff members. Presented in the presentation was Mr. Rajan, a prominent expert in continental shelf from DOALOS. It was to me a very good opportunity to have him there.

No matter how often I have presented papers in seminars and conferences, I could never present without preparation and even practices. The Annual Research Seminar in Australia awarded the predicate of the best presenter to me in 2005, but to me, presenting without preparation and practice is a mistake. I did enough practices before presenting and it seemed that the practice was fruitful. I presented the research well and it seemed that everybody well received what I wanted to convey.

Mr Rajan, being the expert in this field, gave good comments and suggestion. He also helped me dealing with questions from other fellows. I was happy with the result in general and my presentation seemed to be quite interesting as I used many interesting and yet effective animation.

These are some photos.

I was in the middle of presentation. Francois was the chairman.


This is not when I was presenting, but only made a good pose :)

More...

Monday, December 10, 2007

Toward the end of the Fellowship

My days in New York will finish soon. This is the time for me to finish my work as a UN-Nippon Fellow by completing my research paper. It seems to me that Francois, the program adviser, is happy with what I have done so far and the paper is now in its finalizing stage.

I have completed almost all correction based on final comment made by Francois and will be ready with the paper this week, I believe. My next big moment will be the presentation.

More...

Thursday, December 06, 2007

Sovereignty dispute between Malaysia and Singapore

Opinion and Editorial in - December 06, 2007

I Made Andi Arsana, New York City

Last month, Malaysia and Singapore went to the International Court of Justice (ICJ) over a case of sovereignty. Pulau Batu Puteh (or Pedra Branca to Singapore), Royal Rocks and South Ledge are the three features in dispute.

After a long disagreement, the two neighboring states decided to bring the case to the ICJ in the Hague, the Netherlands. The public hearing took place last month, where each party delivered their arguments. The case has not yet been decided but the judgment is expected to be final in six months.



Read more from here

More...

Monday, November 19, 2007

Malaysia vs Singapore on Pedra Branca

Read here for English.

Sengketa berkepanjangan antara dua negara serumpun Malaysia dan Singapura perihal kepemilikan atas Pulau Batu Puteh (nama menurut Malaysia) atau Pedra Branca (nama menurut Singapura) sepertinya akan segera berakhir. Kedua negara kini sedang memperjuangkan argumentasi masing-masing di hadapan sidang Mahkamah Internasional di The Hague, Negeri Belanda. Selain untuk Pedra Branca, sidang ini juga membahas kedaulatan atas dua unsur/obyek lainnya yaitu Middle Rocks dan South Legde.


Berdasarkan perjalanan sidang yang sudah berlangsung seminggu, terlihat bahwa Malaysia berada di posisi yang lebih kuat. Nampaknya Malaysia cukup berhasil meyakinkan sidang bahwa Malaysia memang telah memiliki pulau tersebut sejak masa yang tidak tercatat. Perihal Singapura yang mengoperasikan dan merawat mercusuar yang hingga kini ada di pulau tersebut, Malaysia membernarkan. Meski demikian, keberadaan mercusuar di sana tidak menjadikan Singapura berhak atas pulau tersebut mengingat pembangunan mercusuar yang dilakukan oleh Inggris tersebut atas ijin dari Kesultanan Johor sebagai pemilik pulau yang kini menjadi bagian dari Malaysia. Artinya, waktu mercusuar dibangun, jelas ada pemahaman bersama bahwa pulau tersebut milik Johor sampai dipandang perlu adanya pengeluaran ijin.

Di samping itu, pendirian mercusuar itu sama sekali tiak terkait atau dimaksudkan untuk penguasaan pulau. Mercusuar tersebut didirikan murni untuk kepentingan navigasi. Senin, 19 November 2007, sidang lanjutan akan dilaksanakan di Mahkamah Internasional dan kedua belah pihak akan menyampaikan argumentasinya.

Indonesia, walaupun tidak secara langsung terlibat dalam sengketa, nampaknya perlu memberi perhatian atas perjalanan dan keputusan kasus ini. Bagaimanapun juga, kepemilikan atas Pulau Batu Puteh sedikit tidak akan berpengaruh terhadap jurisdiksi maritim negara yang memilikinya. Mengingat pulau tersebut berada di dekat Indonesia, bukan tidak mungkin dia akan berpengaruh terhadap batas maritim di kawasan Selat Singapura yang belum tuntas antara ketiga negara: Indonesia, Malaysia dan Singapura. Kita tunggu perkembangannya.

More...

Friday, November 16, 2007

North and South Koreas are getting closer

Friday, 16 November 2007, the two Koreans Prime Ministers concluded a meeting in Seoul. Kim Yong Il (North Korea) and Han Duck-soo (South Korea) reached some important agreements during the 3-day meeting in the capital of South Korea. They had agreements on transportation and fishing activities in the disputed maritime area to the west site of the Korean Peninsula.

Even though the agreement is not to settle a final maritime boundary line between the two, the decision to establish a joint fishing ground is viewed as a significant progress in border diplomacy between the two States, which are technically still in a war. Read the rest here.
Disetujui dalam pertemuan itu, Korea Selatan akan mengoperasikan kereta lintas negara untuk alat tranportasi dan untuk kepentingan ekomoni kedua negara. Hal ni akan menjadi kereta lintas negara pertama sejak 1953, ketika perang Korea mengalami gencatan senjata, tetapi tidak dihentikan secara formal. Hingga kini belum ada kesepakatan damai.
PBB menetapkan batas maritim antara kedua negara di Laut Kuning yang dikenal dengan Northern Limit Line (NLL) yang oleh Korea Utara sesungguhnya tidak diterima. Hal inilah yang menyebabkan adanya beberapa insiden di perariran tersebut antara nelayan kedua negara yang menelan korban jiwa. Adanya kesepakatan untuk melakukan aktivitas penangkapan ikan sebagai salah satu hal yang disepakati di Seoul merupakan langkah maju terkait sengketa batas maritim kedua negara. Ini tentunya merupakan salah satu kemajuan juga dalam hal kemungkinan reunifikasi kedua negara.

More...

Thursday, November 15, 2007

Chinese Scientists' journey to Antarctica

Read here for English

Usaha berbagai negara untuk mengeksplorasi dan mengeksplitasi Antartika nampaknya semakin telihat nyata. Setelah Australia, Inggris, Chile dan Argentina menunjukkan gelgatnya, China beberapa waktu lalu bahkan sudah memulai ekspedisinya ke bagian selatan Planet Bumi tersebut.

Ekspedisi ini akan menjadi yang terbesar sepanjang sejarah ekspedisi China ke Antartika seperti yang dinyatakan oleh Xinhua news. 188 orang ilmuwan yang dikirim ke sana dan ratusan crew lainnya bertujuan untuk melakukan penelitian termasuk dalam rangka mengkaji kemungkinan China akan melakukan penguasaan atas landas kontinen Antartika.

China sendiri merupakan salah satu dari anggota Komisi PBB tentang Batas Landas Kontinen yang akan merekomendasikan apakah klaim suatau negara atas landas kontinen tertentu sudah tepat sesuai pasal 76 UNCLOS atau belum. Selain melakukan kajian, rombongan China ini akan mendirikan bangunan untuk kepentingan penelitian yang berkesinambungan di masa depan.

More...

Tuesday, November 13, 2007

Teddy Bear and a border dispute

It has been widely known that the popular toy, Teddy bear, was named after the 26th US President, Theodore Roosevelt. However, not many people really know that the history of Teddy Bear has something to do with border dispute. This is the story.

Salah satu mainan anak-anak (dan juga orang dewasa) saat ini yaitu Teddy Bear (boneka beruang) ternyata memiliki sejarah yang terkait dengan sengketa batas wilayah. Adalah Presiden ke-26 Amerika Serikat ketika itu, Theodore Roosevelt, yang menjadi ilham dinamainya boneka itu sebagai Teddy, nama panggilan sang presiden.

Ceritanya bermula dari perjalanan presiden ke bagian selatan Amerika Serikat untuk menyelesaikan sengketa batas antara Lousiana dan Mississippi. Tahun 1902, ketika Indonesia bahkan masih jauh dari merdeka, Amerika sudah menyelesaikan sengketa batas antar negara bagian. Ini menujukkan bahwa batas wilayah menjadi salah satu perhatian sejak jaman dulu.

Dalam perjalanannya, Roosevelt beristirahat sambil berburu. Anjing pemburu kepresidenan menemukan seekor beruang dan berkelahi dengannya. Malang, anjing itu tewas dan beruang pun luka parah. Roosevelt merasa kasihan dan menyelamatkanya. Melihat ini, seorang kartunis di Washington Post mengabadikannya dalam bentuk kartun yang kemudian dipublikasikan secara luas.

Publikasi ini memicu dibuatnya boneka beruang yang kemudian diberi nama Teddy Bear. Silahkan baca lebih jauh di sini. Kalau suatu saat Anda membelikan anak atau kenalan Anda sebuah Teddy Bear jangan lupa menceritakan sejarahnya terutama yang terkait sengketa batas wilayah.

More...

Will the US ratify the LOSC?

Read here for English

Telah menjadi pembicaraan yang serius sekaligus fenomena menarik bahwa Amerika Serikat belum meratifikasi Konvensi PBB tentang hukum laut (Law of the Sea Convention). Adalah Presiden Reagan ketika itu yang menolak meratifikasi LOSC karena alasan tertentu. Dia juga meminta adanya perubahan dalam konvensi tersebut dan Amerika akan meratifikasi.

Prof. Djalal mengatakan bahwa "kita telah melakukan perubahan untuk 'menyenangkan' Amerika dan ternyata Amerika tidak juga melakukan ratifikasi."

Belakangan ini, semakin santer isu bahwa Amerika akan meratifikasi LOSC. Presiden Bush sudah menyatakan persetujuannya seperti halnya Clinton di masa jabatannya. Adalah Senat yang tidak meloloskan ratifikasi ini. Agresifnya Rusia dalam menunjukkan usaha penguasaannya atas Kutub Utara rupanya menjadi salah satu pemicu positif bagi Amerika untuk meratifikasi LOSC.

Kini seluruh dunia menunggu apakah negara Adidaya ini akan merafikasi LOSC. Jika ya, ini akan menjadi babakan baru dan momentum bagi sejarah hukum laut dunia. Kita tunggu.

More...

Tuesday, October 30, 2007

The Constitution of the Oceans

, Opinion and Editorial - October 29, 2007

I Made Andi Arsana, New York City

Attending the United Nations General Assembly in New York was an interesting experience. Being an observer, it was exciting for me to see how a negotiation and consultation went. The day I attended an informal consultation of the law of the sea was taking place. The moment reminded me that the future of ocean affairs and the law of the sea was being discussed in the room.

This year, the 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) is 25 years old. People refer to it as the "Constitution of the Oceans", being the most comprehensive codified law of the sea in human history.

The road to establish the convention was long and winding, and it took nine years to finish before it was ratified by the majority of coastal states around the globe. To date, it has been signed by 154 coastal states and the European Union, including Indonesia, with the Law No. 17/1985.

The convention also deals with international maritime boundaries. In this regard, Indonesia has 10 neighboring states, namely India, Thailand, Malaysia, Vietnam, Singapore, the Philippines, Palau, Papua New Guinea, Australia and Timor Leste, with which maritime boundaries need to be settled. To date, 18 agreements have been established making Indonesia one of the most productive in this regard. However, Indonesia still has work to do. Continue >>

More...

Wednesday, October 17, 2007

Prof. Dr. Hasjim Djalal: The one Indonesia should be proud of

I was going to say “Who doesn’t know Prof. Hasjim Djalal?” when I started writing this article but I cancelled my intention. While to me Prof. Djalal is definitely the prominent person in the area of the law of the sea in Indonesia and even in the world, a friend of mine, who is a surveyor, does not know him. It was too bad. But this is a different story.


After attending a presentation by Prof. Djalal in the UN Secretariat Building in New York, I am sure that the ‘provocative’ opening sentence of my article is definitely relevant. “Who does not know Pro. Hasjim Djalal?” Everyone who devotes his/her energy and time in the field of law of the sea should know this special person. It seems to me that prominent people from around the world do respect Prof. Djalal. It can be obviously observed from the seminar organised by DOALOS and UNITAR, this morning.

I was one of the lucky people in the room this morning for the chance to learn from such a great presentation by Prof. Djalal. He was invited by DOALOS/UNITAR to give a presentation in the celebration of the 25 years of the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). It was in December 1982 when the Convention was open for signature and Prof. Djalal was the one who was actively involved in the negotiation of the Convention. He is definitely a living witness to the “making” of the so-called “Constitution of the Oceans”. Therefore it was an excellent idea for DOALOS/UNITAR to present Prof. Djalal to the audience this morning. Not only because he is the veteran of the Convention but also because he has been devoting his life to the issues of law of the sea for such a long time and even until has he aged 74 years, now. He is really the one to whom we should speak about the historical context of the Convention.

Prof. Djalal definitely knew what the convention is all about. He amazingly recalled the philosophy behind the Convention and clearly delivered it to the audiences in a very interesting manner. He started his presentation by addressing the issues the world was facing prior to the Convention, leading to the need of the establishment of the Convention. I am sure that everybody in the room was enlightened by his interesting presentation. He was always frank and spoke honestly from his hearth. He said anything clearly without any hesitation. Not to mention that his English is undoubtedly excellent.

I was personally amazed how clear he could address every single issue in the Convention as well as the historical context of them. He was the star in the conference we had for a whole day today. His extensive knowledge concerning ocean affairs and law of the sea is unquestionable. In addition, he without hesitation spoke up his disagreement with some of the US policies concerning Ocean Affairs and Law of the Sea. He made it interesting as he spoke in front of many Americans, who seemed to me agree with him. That is why I call him frank and brave.

As a new comer in the law of the sea, I was so glad to know that an Indonesian played significant role in drafting such an important Convention, which I did not really know until this morning. I heard that Prof. Djalal was involved but I did not realize that his contribution was massive and was highly acknowledged by people from around the globe. It seems to me that Prof. Hasjim Djalal is a special person and a very good advocator. No wonder that he was assigned to be an ambassador in several States in the past and also an Ambassador At-Large for Ocean Affairs and law of the Sea for many years. I am definitely convinced that it was the right choice by the government of Indonesia.

Talking about Prof. Djalal and his greatness will last forever. This article can be so long. I should stop here. As an Indonesian, I could not agree more that he is the one Indonesia should be proud of. The next question is “when will Indonesia have another Djalal in her history?

More...

Tuesday, October 16, 2007

Batas Maritim Indonesia setelah 25 Tahun UNCLOS

Mengikuti Sidang Umum PBB di gedung Sekretarit PBB, New York merupakan pengalaman yang menarik. Sebagai pengamat, penulis dapat mengikuti dengan seksama jalannya negosiasi yang kadang alot. Saat itu terjadi konsultasi informal pembahasan resolusi hukum laut (law of the sea) yang berkutat tidak saja pada masalah isi tetapi juga bahasa. Pengalaman menarik itu mengingatkan bahwa nasib kelautan dan hukum laut planet ini sedang dibicarakan di ruangan itu.

Tahun ini Konvensi PBB tentang hukum laut yang dikenal dengan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS) telah berumur 25 tahun. Orang menyebutnya Constitution of the Oceans karena dipandang sebagai bentuk kodifikasi hukum laut yang paling komprehensif sepanjang sejarah peradaban manusia. Konferensi untuk mewujukan konvensi tersebut berlangsung tidak kurang dari sembilan tahun sebelum akhirnya disetujui dan diratifikasi oleh sebagian besar negara pantai (coastal states) di dunia. Kini ada 155 negara yang meratifikasinya termasuk Indonesia dengan UU No.17/1985.

Salah satu hal penting yang diatur dalam UNCLOS 1982 dan terkait erat dengan Indonesia adalah yurisdiksi dan batas maritim internasional. UNCLOS mengatur kewenangan sebuah negara pantai terhadap wilayah laut (laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi ekskluif, dan landas kontinen). Selain itu diatur juga tatacara penarikan garis batas maritim jika terjadi tumpang tindih klaim antara dua atau lebih negara bertetangga, baik yang bersebelaan (adjacent) maupun berseberangan (opposite).

Indonesia yang berada di antara dua samudera dan dua benua memiliki sepuluh tetangga yaitu India, Thailand, Malaysia, Vietnam, Singapura, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste. Penetapan batas maritim sudah dilakukan sejak tahun 1969 dengan Malaysia ketika UNCLOS 1982 belum ada. Hingga kini, 18 perjanjian batas maritim sudah disepakati sehingga tidak berlebihan jika ada pendapat yang mengatakan bahwa Indonesia termasuk sangat produktif dalam menyelesaikan batas maritim dengan negara tetangga. Meski demikian, PR Indonesia masih tersisa.

Harus diakui bahwa perjalanan Bangsa Indonesia masih diwarnai riak-riak yang terkait sengketa batas maritim. Kasus Ambalat yang mencuat di awal tahun 2005, isu pulau terluar, dan perbatasan dengan Singapura yang masih belum tuntas adalah sebagain kisah yang meramaikan media massa bahkan hingga saat ini. Cerita tentang Sipadan dan Ligitan bahkan menjadi legenda yang siap dikisahkan kembali kapan saja. Kini setelah UNCLOS berusia 25 tahun, ada baiknya mengingat kembali kejadian itu dan mengambil pelajaran darinya untuk membangun kisah masa depan yang lebih baik.

Meluruskan Mitos Sipadan dan Ligitan
Sebagian masyarakat memahami bahwa dua pulau Indonesia ini direbut Malaysia. Saatnya kita benar-benar paham bahwa Indonesia tidak pernah kehilangan pulau. Sipadan dan Ligitan adalah dua pulau “tak bertuan” yang coba diklaim oleh Indonesia dan Malaysia tetapi dimenangkan oleh Malaysia karena alasan penguasaan efektif.

“Kemenangan” ini tidak saja karena usaha Malaysia tetapi juga Inggris sebagai pendahulunya. Inggrislah yang telah melakukan usaha yang menguatkan penguasaan atas kedua pulau itu baik berupa pemberlakuan hukum maupun pendirian dan pemeliharaan mercusuar. Perlu juga diingat bahwa penguasaan efektif yang dimaksud tidak terkait pembangunan resort oleh Malaysia karena faktor-faktor yang dipertimbangkan adalah sebelum tahun 1969 seperti disepakati kedua negara. Apapun yang terjadi setelah 1969 tidak ada kaitannya dengan kedaulatan atas kedua pulau tersebut.

Ada baiknya kita membaca secara seksama hasil keputusan Mahkamah Internasional yang secara mudah bisa didapatkan di Internet untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik. Pemahaman ini penting untuk menghindarkan kita dari kesalahan menghujat pihak-pihak yang tidak semestinya dihujat. Meski demikian, memang harus diakui bahwa tidak semua berita di media massa menyampaikan duduk perkara kasus ini secara benar. Lebih jauh lagi, ada kalanya pejabat negara juga berkomentar emosional dan tanpa tanpa pemahaman yang memadai sehingga memperburuk suasana. Menyebut Ambalat sebagai pulau dan menuduh Malaysia tidak berhak mengklaim lebih dari 12 mil wilayah laut karena bukan negara kepulauan adalah dua contoh komentar yang tidak pada tempatnya. Tidak mengherankan jika masyarakat salah mengerti dan kadang muncul reaksi nasionalisme berlebih.


Langkah ke depan
Ada setidaknya tiga hal yang harus kita lakukan bersama untuk menuntaskan PR batas maritim yang akhirnya berujung pada kehidupan berbangsa yang lebih damai. Hal pertama adalah memusatkan perhatian pada penyelesaian batas maritim yang masih tertunda. Saya yakin, hal ini pastilah sudah menjadi agenda pemerintah bersama institusi terkait. Negosiasi dengan Malaysia dan Filipina sedang berlangsung, demikian pula penjajagan dengan Palau sudah dilakukan. Delimitasi landas kontinen melebihi 200 mil laut pun sedang dilakukan dan siap untuk diserahkan kepada PBB. Usaha ini memerlukan konsentrasi dan dukungan kita, terutama media massa.

Hal kedua adalah melakukan pemeliharaan dan sosialisasi batas maritim yang sudah ada. Menetapkan batas maritim bukanlah akhir dari segalanya. Menjaga dan memelihara batas menjadi tantangan yang juga sangat sulit. Pewujudan batas dalam peta dengan spesifikasi yang memadai termasuk mensosialisasikannya kepada pihak berkepentingan (nelayan, masyarakat pesisir, dll) adalah keharusan. Tanpa sosialisasi dan pemahaman yang benar tentang posisi dan status batas maritim, penangkapan nelayan karena melewati garis batas tetap akan terjadi. Saatnya kita belajar dan peduli dengan wilayah dan perbatasan kita.

Hal ketiga adalah meningkatkan kepakaran batas maritim dari aspek legal, politis maupun teknis. Memang batas maritim merupakan pesoalan hukum dan politis. Yang tidak banyak diketahui masyarakat umum adalah pentingnya keahlian teknis dalam hal ini. Memang tidak banyak berita di koran yang membahas pentingnya penentuan koordinat titik batas dengan datum geodesi yang jelas, misalnya, sehingga sebagian masyarakat hanya melihatnya dari sudut pandang politis dan hukum.

Indonesia, menurut hemat penulis, memiliki banyak pakar hukum tetapi masih memerlukan orang-orang yang menekuni aspek teknis. Perlu lebih banyak ilmuwan kebumian (geodesi, geofisika, hydrografi, geologi) yang menekuni aspek teknis hukum laut untuk mendukung tim batas maritim Indonesia di masa depan. Tentu saja bukan berarti pakar yang ada sekarang tidak mumpuni, kuantitas perlu ditingkatkan dan regenerasi adalah hal yang tidak bisa diabaikan.

Banyak jalan untuk meningkatkan kepakaran ini. Adanya mata kuliah formal tentang batas wilayah di Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika UGM merupakan salah satu langkah yang baik. Peluang fellowship yang diberikan oleh United Nations dan Nippon Foundation untuk melakukan penelitian terkait selama sembilan bulan di luar negeri dan kantor PBB merupakan kesempatan yang sangat baik untuk diikuti oleh generasi muda Indonesia (lihat http://www.un.org/Depts/los/nippon/).

Selain itu, pendirian pusat studi yang mengkaji isu batas martim di berbagai negara di seluruh dunia merupakan cara untuk belajar dari pengalaman orang lain. Pemerintah dan institusi pendidikan sudah semestinya memberi dukungan terhadap kegiatan penelitian yang terkait batas maritim ini.

Di saat UNCLOS berumur 25 tahun, sudah semestinya kita belajar lebih banyak lagi. Perjuangan Ir. Djuanda Kartawidjaja dengan deklarasinya di tahun 1958 yang melahirkan konsep Wawasan Nusantara semestinya tetap menjadi inspirasi bagi Indonesia yang adalah negara bahari. Mari kita mulai mengajarkan anak kita menggambar pemandangan laut, tidak hanya dua buah gunung dengan jalan di tengahnya. Mari menanamkan kesadaran bahari sejak dini.

More...

Friday, October 12, 2007

UK invites Argentina to jointly work in seabed extension

Read here for English.

Pengajuan batas terluar landas kontinen melebihi 200 mil laut dari garis pangkal (landas kontinen esktensi, LKE) memang merupakan isu yang hangat belakangan ini. Beberapa negara yang meratifikasi UNCLOS sebelum tahun 1999 diwajibkan menyerahkan dokumen batas LKE dan pendukungnya sebelum tanggal 13 Mei 2009 kepada CLCS.

Inggris (UK) adalah salah satu dari negara pantai di dunia yang berpeluang mengajukan LKE kepada CLCS dengan deadline 2009. Sebelumnya Inggris sudah mengajukan LKE bersama-sama dengan Spanyol, Irlandia dan Perancis. Kali ini Inggris mempersiapkan pengajuan LKE untuk kawasan Falkland Island (lihat peta dan gunakan -/+ untuk memperkecil/memperbesar tampilan) yang merupakan kawasan Inggris di luar Benua Eropa. Sementara itu, Falkland Island berada dekat dengan Argentina yang berpotensi sengketa. Hal ini membuat Inggris berniat untuk berkerjasama. Inggris, melalui surat terbuka yang dipublikasikan di Buenos Aires press, mengajak Pemerintah Argentina untuk mengajukan LKE secara bersama.

Pengajuan LKE bersama ini memang dimungkinkan oleh CLCS melalui aturan yang ada dan bahkan cenderung disarankan jika daerah yang diajukan berpotensi konflik. Perlu diketahui bahwa pengajuan LKE ini akan direkomendasikan oleh CLCS dan bisa bersifat final dan mengikat jika "direstui" oleh Komisi ini. Jika kawasan yang diajukan masih dalam sengketa maka CLCS tidak akan mau mempertimbangkan dan mewajibkan negara-negara yang bertikai untuk mengelesaikan sengketa terlebih dahulu.

Ajakan Inggris kepada Argentina ini merupakan langkah yang baik dan perlu mendapat sambutan yang positif. Hal ini juga bisa dijadikan cermin bagi negara-negara lain yang akan mengajukan LKE dalam waktu dekat. Sementara itu, Indonesia sendiri sedang mempersiapkan pengajuan LKE yang direncanakan akhir tahun ini.

More...

First draft submitted

Today, the very first draft was submitted to Francois for his comments. The paper contains four chapters and it was after suggestions made by Clive, my supervisor during the first-phase placement in the University of Wollongong.

Francois told me that it may take him four working days in total to review mine and provide comments. In the meantime, I will work on the footnote and referencing system which currently does not yet comply the requirements.

We will see what may happen next week when Francois return my paper.

More...

Wednesday, October 10, 2007

Met the Ambassador

I might not need to talk too much about what happened this afternoon. This picture should be able to tell you the story more than I would do verbally. A picture worths thousands of words, I believe.

I Met, Pak Marty Natalegawa, the Ambassador Extraordinary and Plenipotentiary, Permanent Representative of the Republic of Indonesia to the United Nations (PTRI). See also my previous posting. He was also glad when I presented to him my book about Maritime Boundaries and collection of my articles in newspapers.

The discussion was productive. I had a chance to explain what the fellowship is all about as well as my academic background. In addition, I asserted that the fellowship is a great chance that Indonesia should not miss. It is unfortunate that no one from Indonesia applying for the fellowship this year. A great chance next year will be missed. Pak Marty agreed that Indonesia should not ignore this opportunity and asked Pak Adam, one of his staffs to put this as one of the regular agendas. However, regularizing the program does not mean to put more complicated rules that will prevent people from applying. Pak Marty emphasized that one of our expertises is to make something more complicated. We should not do this :)

Pak Marty, as I expected, is a nice person. He is far form being formal and is really friendly. He showed his respect to other people, even though the person is much younger and less-experienced compared to him. The meeting with the Ambassador this afternoon was a great experience.

More...

Tuesday, October 09, 2007

UN Draws Honduras, Nicaragua Sea Border

Read here for English

Sengketa berkepanjangan antara Nicaragua dan Honduras berakhir sudah. Tanggal 8 Oktober, Mahkamah Internasional (ICJ) memutuskan untuk menetapkan batas maritim antara kedua negara. Selain menetapkan batas maritim, ICJ juga memutuskan kedaulatan atas beberapa pulau di sekitar kedua negara tersebut.

Honduras memperoleh kedaulatan atas Bobel Cay, Savanna Cay, Port Royal Cay dan South Cay di samping menarik satu garis tunggal sebagai batas maritim. Hasil keputusan ini nampaknya diterima dengan baik oleh kedua belah pihak karena sepertinya merupakan hasil kompromi antara keinginan masing-masing. Dalam pengajuan argumentasinya, kedua negera tentu saja memiliki "forward position" yang relatif 'eksesif' dan garis batas yang ditetapkan kurang lebih berada di antara klaim masing-masing. Jelasnya status kedaulatan empat pulau di Laut Karibia tentu saja berpengaruh terhadap batas maritim yang ditetapkan. Silahkan baca seputar berita ini dari berbagai sumber.



More...

Monday, October 08, 2007

Boundary between Connecticut and Rhode Island Vanishing

Read here for English

Hilangnya patok/tugu batas wilayah ternyata menjadi fenomena di banyak tempat, termasuk di Amerika. Tidak hanya di Indonesia tugu batas wilayah dibongkar penduduk karena ketidaktahuan atau karena jahil, di Amerika pun hal ini terjadi. Tugu batas antara Negara Bagian Connecticut dan Rhodhe Island (lihat peta) yang seharusnya berjumlah 47 kini hilang 7 buah. Hal ini disinyalir karena dipindahkan penduduk, mungkin untuk hiasan karena bentuknya memang unik, menarik untuk penghias taman :)

Hilangnya tugu batas menjadi hal yang serius. Meskipun kini koordinat titik batas bisa ditentukan dengan GPS, tetap saja keberadaan tugu menjadi penting karena masyarakat mengetahui batas wilayah dari tugu, bukan dari koordinat. Di Amerika dengan sistem administrasi masyarakat yang sudah sangat baik, kekaburan batas wilayah berdampak sangat besar. Pembayaran pajak, registrasi bangunan, dan pelayanan polisi adalah beberapa contoh kecil saja yang akan bermasalah jika batas wilayah tidak jelas. Hal ini tentunya juga berlaku di Indonesia. Oleh kerena itu penetapan dan penegasan batas wilayah menjadi sangat penting. Yang lebih penting lagi adalah sosialisasi tentang batas wilayah terutama kesadaran masyarakat untuk memelihara tugu batas wilayah di daerahnya.

More...

Sunday, October 07, 2007

Guyana vs Suriname

For English, click this.
Pada tanggal 20 September 2007, ITLOS memutuskan perkara delimitasi batas maritim antara Guyana dan Suriname yang telah menjdi sengketa panjang. Negosiasi kedua negara telah mengalami kebuntuan sehingga kasus ini diserahkan kepada ITLOS.

Keputusan ITLOS menunjukkan bahwa penerapan pendekatan proporsionalitas digunakan dalam menentukan garis batas ini. Dalam hal ini Guyana mendapat 51% wilayah laut sedangkan Suriname mendapat 49%. Keputusan ini menerapkan prinsip ekuidistan dengan modifikasi berdasarkan proporsi, salah satunya panjang garis pantai. Hal ini, menurut pejabat negara Suriname, bisa diterima mengingat proporsi panjang garis pantai kedua negara adalah 54 (Guyana) berbanding 46 (Suriname). Namun begitu, pihak oposisi Suriname menganggap delimitasi ini tidak adil sehingga mendesak pemerintah Suriname untuk mengajukan keberatan.

ITLOS memang memberikan kesempatan kepada Suriname dan Guyana untuk mengajukan keberatan atas keputusan mereka sebelum keputusan itu bersifat final dan mengikat.

More...

Saturday, October 06, 2007

When Russia claims the North Pole and Australia wants Antarctica

One of my article is published in DiscoveryIndonesia.com. The article concerns the the Russian claim over the North Poles and the one that Australia similarly does to the Antarctica. Please read the article here.

More...

Friday, October 05, 2007

Dr. Natalegawa

I was sitting in front of a Chase Bank counter in the UN secretariat building in the afternoon. I was helping Ritche, the new fellow from the Philippines open a bank account when accidentally I heard somebody was talking on the phone in Bahasa Indonesia. It is not very common to hear somebody speaking in Bahasa Indonesia in this building, especially when there is no international diplomat around. Being curious, I turned my head to the voice and surprisingly I discovered a familiar face.

The man talking on the phone was Dr. Marty Natalegawa, the Indonesian Ambassador Extraordinary and Plenipotentiary, Permanent Representative of the Republic of Indonesia to the United Nations (PTRI). Of course I recognized him as everybody in Indonesia seems to know him. We can easily see his face or his comments on TVs or newspapers. He was a famous Spokesperson of the Ministry of Foreign Affairs before appointed as the Indonesian Ambassador to United Kingdom. Now, he is currently the head of our mission in New York.

What a surprise to me. Coincidently, I was planning to visit him in his office and present him one of my books about Maritime Boundaries. I think the book will be quite important for him as a diplomat. It seemed to me that it was a good time to say hello and introduce myself. I waited until he finished talking on the phone and completed his paper work. "Selamat siang Pak Marty!", I said and of course he was surprised. "Selamat siang!" he said before accepting my hand shake. I then told him briefly about me and informed him about what I am doing in New York.

The short conversation gave me an impression that he is a really nice person. He showed me his interest concerning the area I am currently working. I told him my idea to present him a book of mine and he was happy for that. He then asked me to contact his secretary for arranging a meeting. "I want to know more about the topic", he said.

Pak Budi, his secretary, tentatively arranged a meeting for me with Dr. Natalegawa on Tuesday, 9 October 2007 at 5 pm. It is to me a great chance for networking and also for real contribution to Indonesia. See you on Tuesday.

More...

Monday, October 01, 2007

LOS resolution

Being in New York this time gives me great opportunities. General Assembly is ongoing and other important conference are here to attend. This afternoon, Sampan (the fellow from Thailand) had a chance to be in the LOS resolution meeting in Conference Room 8. Being in such an important conference is an hilarious experience. I could observe closely how people from the Division of Ocean Affairs and Law of the Sea (DOALOS) of the UN Office of Legal Affairs (OLA) and delegates from several countries debated on the LOS resolution.

To me personally, the discussion was really interesting when it came to the talk on continental shelf and Commission on the Limits of Continental Shelf. The topic closely relates to what I am currently doing in my research. The discussion was about responding the response of International Maritime Organization (IMO) to the previous draft of the resolution. I could observe how delegates from USA, Canada, China, Norway, Guatemala, Portugal and Australia played their roles in establishing final resolution. It was a precious experience to me to see the real negotiation, something I only watched on TV or read from books.

More...

Saturday, September 29, 2007

First-phase Report

One of the first assignment during my internship in DOALOS is to complete a report concerning my first-phase placement. The report covers my activities during the first-phase of the fellowship starting from the time I learned about the program for the first time to the end of academic research in the first-phase.

Here is the report that I will submit to Francois, the program adviser.

More...

Wednesday, September 26, 2007

New York


I arrived in New York on 23 September 2007 and managed to secure an accommodation in Queens Area, Middle Village, to be prices. It is about 45 minutes from Manhattan, where the UN Office is.

On 25 September 2007 I met Francois Bailet, the UN-Nippon Fellowship program adviser who then briefed me about the program. Basically, I am here in DOALOS is to continue and finish my thesis (academic report) that I have already started in Wollongong. He suggested me to add some more important information that I will obtain during my internship with DOALOS.

Apart from the research matter, coming to New York this time is just perfect to me as the UN General Assembly is running. All states parties are currently in New York and I could say that the destiny of this Planet Earth is being discussed. The situation around the UN building is really busy with a very tight security. No body could pass 44th Street without a UN-ID. Cars, Motorbikes and trucks with "NYPD" logo are everywhere on the street in Manhattan. Snippers are found in many high rises. Simply speaking, amazing.

This is the start of my three-month journey in New York. Welcome to NY.

More...

Tuesday, September 04, 2007

Pulau, Wilayah Maritim, dan Kedaulatan

Oleh I Made Andi Arsana
Harian Suara Pembaruan, 4 September 2007

Berita menarik seputar usaha Rusia mengklaim Kutub Utara belakangan ini menjadi pembicaraan di berbagai media di seluruh dunia. Akhir Juli lalu, Rusia mengirimkan puluhan ilmuwan ke Kutub Utara untuk melakukan ekspedisi. Rombongan membawa kapsul titanium berisi bendera Rusia dan akan ditempatkan di dasar laut Kutub Utara. Itu akan menjadi pertanda klaim mereka atas landas kontinen (dasar laut) Kutub Utara.

Tindakan itu tentu saja menimbulkan kontroversi. Reaksi datang dari berbagai negara, terutama empat negara Kutub Utara lainnya, yaitu Amerika Serikat, Denmark, Kanada, dan Norwegia. Tampaknya penjalaran klaim yurisdiksi wilayah maritim kini menjadi keniscayaan.

Lanjut...

More...

Tuesday, August 28, 2007

Buku Baru: Batas Maritim Antarnegara

Masih ingatkah Anda?

  1. Kasus Pulau Sipadan dan Ligitan
  2. Kasus Ambalat
  3. Reklamasi Pantai Singapura dan runyamnya urusan batas maritim dengan Indonesia
  4. Pelanggaran batas di Selat Malaka
  5. Penangkapan nelayan Indonesia oleh Australia
  6. dan banyak lagi
Buku ini akan membantu Anda memahami persoalan di atas.

Ringkasan
Buku ini disusun dalam beberapa bab yang dikemas sedemikian rupa sehingga memudahkan pemahaman. Bab 1 memuat pengantar batas maritim antarnegara, berguna bagi mereka yang benar-benar masih awam tentang topik ini. Bab 2 mulai memperkenalkan delimitasi batas maritim dengan contoh dan ilustrasi yang cukup mudah dipahami. Hal teknis mulai dibahas di Bab 3 tentang garis pangkal sebagai acuan dalam melakukan klaim maritim. Dalam bab ini dibahas jenis-jenis garis pangkal dan karakternya.

Bab 4 membahas yurisdiksi maritim yang bisa diklaim oleh suatu negara pantai. Bab ini membahas jenis, lebar, dan aturan yang berlaku pada masing-masing yurisdiksi. Pada Bab 5 dibahas prinsip-prinsip delimitasi. Inti dari bab ini adalah prinsip pelaksanaan delimitasi jika terjadi tumpang tindih klaim maritim oleh dua atau lebih negara bertetangga. Delimitasi ini mengacu kepada hukum internasional dan praktik negara. Setelah itu, Bab 6 membahas hal yang cukup teknis terkait metode delimitasi batas maritim. Dalam bab ini dibicarakan beberapa metode yang digunakan untuk menarik garis batas maritim serta pertimbangan-pertimbangannya.

Bab 7
secara khusus membahas aspek teknis delimitasi batas maritim yang meliputi penggunaan peta dan aspek geodesi termasuk datum vertikal dan horisontal. Pertimbangan-pertimbangan utama dalam delimitasi batas maritim dibahas pada Bab 8 yang intinya mengemukakan faktor yang relevan dan tidak relevan dalam menentukan batas maritim final. Bab 9 kembali membahas hal yang sangat teknis sifatnya yaitu data, informasi dan perangkat lunak yang diperlukan dalam melakukan delimitasi batas maritim. Selanjutnya Bab 10 secara khusus membahas peran ilmu dan teknologi geospasial dan pakar teknis dalam delimitasi batas maritim. Bab ini memperkenalkan survei pemetaan; fotogrametri dan penginderaan juah; penentuan posisi berbasis satelit; dan sistem informasi geografis. Bab 11 membahas institusi pemerintahan dan non pemerintahan yang berperan dalam delimitasi batas maritim di Indonesia dan beberapa negara tetangga.

Bab 12
memberi gambaran tentang batas maritim Indonesia dengan negara tetangga. Di sini disampaikan secara umum status batas maritim yang sudah maupun belum disepakati dengan kesepuluh negara tetangga. Bab 13 memaparkan kasus-kasus batas maritim yang terjadi di perairan nusantara selama beberapa kurun waktu terakhir termasuk pelajaran yang bisa diambil dari beberapa kasus tersebut. Bab 14 sedikit istimewa karena membahas studi kasus delimitasi batas maritim antara Indonesia dan Timor Leste. Perlu diperhatikan bahwa itu adalah murni kajian penulis dan tidak mencerminkan pandangan Indonesia maupun Timor Leste. Sangat mungkin Pemerintah Indonesia maupun Timor Leste tidak setuju dengan padangan penulis perihal batas maritim antara kedua negara. Bab 15 adalah bab terakhir yang mencoba memberikan gambaran tantangan ke depan untuk Indonesia.

Daftar isi buku dapat dilihat di sini (html) atau di
sini (pdf). Rangkuman bisa juga dilihat di sini (pdf)

Endorsemen
“… buku ini baik untuk dibaca para akademisi, dosen, mahasiswa, dan praktisi perundingan batas yang erat kaitannya dengan Hukum Laut. Dosen dan mahasiswa di Fakultas Teknik (khususnya Teknik Geodesi), Fakultas Hukum, dan fakultas lain yang terkait dengan Hukum Laut disarankan untuk memiliki buku ini. Selain itu buku ini baik untuk dimiliki dan dibaca oleh para pejabat teknis perbatasan di instansi-instansi seperti BAKOSURTANAL, DEPLU, DEPHAN, DEPDAGRI, DKP, DESDM, dan TNI-AL.”
(Dr. Ir. Sobar Sutisna, M.Surv.Sc, Kepala Pusat Pemetaan Batas Wilayah, Bakosurtanal).

"Pembahasan batas maritim yang lengkap dalam buku ini menjadikannya sangat penting untuk dibaca. Dengan gaya penulisan yang sederhana, maka buku ini dapat dibaca oleh mereka yang awan sekalipun. Buku ini juga perlu dibaca oleh mereka yang berkecimpung dalam aktivitas delimitasi batas wilayah laut, dan dapat dijadikan referensi bagi kalangan akademisi, seperti mahasiswa dan dosen."
(Dr. Koesrianti, SH, LL.M, Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya)

Fakta Buku
Tahun: 2007
Tebal: 204 + xxiii
Penerbit: Gadjah Mada University Press
Bahasa: Indonesia
Harga: Rp 52.500,-


Informasi Lebih Lanjut

I Made Andi Arsana
madeandi@ugm.ac.id, http://madeandi.staff.ugm.ac.id/

Gadjah Mada University Press
gmupress@ugm.ac.id, http://gmup.ugm.ac.id/

Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika UGM
Att. Ir. Sumaryo, M.Si (0274 – 520226, geodesi@ugm.ac.id)

More...

Tuesday, August 21, 2007

Naming Indonesia's islands has implications for sovereignty

Opinion and Editorial by I Made Andi Arsana on August 20, 2007 in . More...

More...

Tuesday, August 07, 2007

Toponymy and Extented Continental Shelf: Sovereignty and Sovereign Rights

Kompas (24 July 2007) covered an interesting news regarding the intention of Indonesian government to register thousands of its islands to the United Nations. It was said that Indonesian government is ready for a submission to the UN after verifying at least 3,046 islands in 11 provinces. The verification also includes the activities to name thousands of previously nameless islands across the archipelago. This month, it is targeted that all islands in Indonesia's 15 provinces can be registered to the UN and the project that started in 2005 is expected to finish this year.

For the laymen in this country, it has been long believed that Indonesia has more than 17 thousands island from Sabang to Merauke (west-east) and From Rote to Miangas (south-north). A –so called- official sources states that there are precisely 17,504 islands in the archipelago. If the data is correct and has gained recognition from the international community including the UN, why would Indonesia need to register their island? If it is true that island naming was the project, didn’t they have name before? This should be very interesting.

Yes, it has to be admitted that we have not yet had names for every single island that we claim to be part of Indonesia. An official states that there are more than 9000 nameless islands in Indonesia and has to be named before registration to the UN (The Jakarta Post, June 11, 2007). This is the fact and this is what we are currently doing. Toponymy is the term for island naming and it involves certain steps and procedures as endorsed by the United Nations Group of Experts on Geographical Names (UNGEGN). The twenty-fourth Session will be done in New York on 20 and 31 August 2007 and therefore Indonesia has to submit list of island names beforehand.

Article 121 of the United Nations Conventions on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS), which Indonesia is a party to, provides the definition of islands. In order to be recognized as an island, a feature in the sea has to meet several criteria such as naturally formed, always appear on the surface of the sea even during high tide, and it has to have capacity to sustain human habitation. Surprisingly, as highlighter by Alex SW Retraubun (Department of Ocean Affairs and Fisheries), around three thousand islands proposed by local government did not meet these criteria in verification. This mean that the numbers of islands in Indonesia could be less than that we used to believe.

Notwithstanding the number of the islands, naming the unnamed islands for Indonesia is really strategic. This is considered as the first important step in realizing the intension for developing and maintaining small islands. While it is important for economic development, the more significant impact is to the national sovereignty. It has been evident that this country has been facing many problems concerning sovereignty and sovereign rights. What the government has done to those islands seem to be a very good response. This is an addition to the President Decree concerning the management and developments of small outer islands in Indonesia (PP No 78/2005).

Thu Indonesia’s outer islands play important roles regarding Indonesia’s territorial waters and maritime boundaries with neighboring States. On many of those islands, basepoints of Indonesian baseline were placed. Baseline is the line from which maritime jurisdictions (territorial sea, exclusive economic zones, and continental shelf) are measured. This means that the existence of the small outer islands is vital. This is the forward point from which our maritime claim is measured and maritime boundaries with our neighbors may be constructed. Simply speaking, the toponymic activity (especially for the small outer islands) contributes significantly to the Indonesian economic development, sovereignty, and sovereign rights.

With regard to sovereignty and sovereign rights, it seems that there are tendencies where coastal States intent to claim more and more maritime area. Russia, for example, is currently conducting an expedition to the North Pole to claim the no man’s land. Around 50 scientists were sent off to the North Pole and they plan to place a titanium capsule on the North Pole’s seabed with a Russian Flag in it. This will be an evidence of Russia’s claim over. Similarly, Australia declared its claim over continental shelf in 2004 encompassing the seabed area in the Antarctic. This is another indication that there are “creeping jurisdictions of coastal States”. Is there any legal basis for their maneuver?

What Russia is doing sparks controversy all over the globe. However, there is legal reason for the movement. It is the UNCLOS that enables coastal States to claim continental shelf beyond 200 nautical miles (M), which is also called extended continental shelf (ECS). Being State parties to the UNCLOS, Russia and Australia have the chance to submit their claim over ECS to the Commission on the Limits of Continental Shelf (CLCS). Therefore we could not really say, at least at the first sight, that they are demonstrating greediness. They have the rights to lodge the claim, but it is then CLCS’ responsibility to consider and make recommendation concerning the claim. It will never be valid until it is recommended by the commission. In other words, ECS claim cannot be done unilaterally.

Similarly, Indonesia also has chances for submitting ECS to CLCS. The deadline for the submission will be on 13 May 2009 and Indonesia is currently conducting serious preparation. It involves serious and careful technical, scientific and legal consideration in order for the submission to be accepted. In addition, the cost for submitting ECS including preparation is undoubtedly not cheap. It naturally begs a question whether it is worth it? This might be difficult to answer. It is not something that can be judged instantly. By securing more continental shelves, at least there are hopes for economic advantages in the future as continental shelf potentially contains oil and gas deposits. In addition, the claim can be a declaration of our national sovereign rights.

What Indonesia, Russia, Australia and other coastal States are doing is another manifestation of declaring their existence. There is one important message they are delivering beyond the economic reason: securing the sovereignty and sovereign rights.

More...

Thursday, August 02, 2007

Creeping Maritime Jurisdiction to the North Pole and Antarctic

In this last two weeks the press around the globe talks about the Russian expedition to the North Pole. Russia sent its 50 scientists to the North Pole on 24 July 2007 for investigation in relation to its claim over the no-man’s area. Russia will also place a titanium capsule on the seabed with a Russian flag in it, staking its claim. Notwithstanding the controversy it may cause, this is considered as the greatest North Pole Expedition, ever.

Reactions from other States are predictable: disagreement. Unsupportive reactions are almost everywhere. Many opine that this is an indication of Russia’s intention to regain its ‘glory’. Will this lead the world to a new kind of cold war? We can only guess.

Meanwhile, Australia also does similar movement. It is claiming the Antarctic as part of its continental shelf. Australia officially declared its claim at the end of 2004 and also has, by now, been receiving unsupportive comments from other States including the US, Japan, and Timor Leste.

Is it true that Russia is claiming the North Pole and Australia is fighting for the Antarctic? If so, is there any legal base or it is just another manifestation of greediness? Let’s have a look at this from a different angel.

We are talking about the claim of maritime jurisdiction by coastal States. It is the United Nations Conventions on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, where Russia and Australia are parties to, which governs coastal States’ maritime jurisdiction. The Convention asserts that coastal States are entitled to several maritime jurisdictions measured from their baselines, including territorial sea (12 nautical miles, M), exclusive economic zone (200 M) and continental shelf (CS). CS is seabed area where coastal States can exercise their sovereign rights for natural resources exploitation. Oil and gas are apparently the main reason behind the claim over CS, considering that the seabed area potentially reserves a lot of oil and gas deposits. In the North Pole, for example, around 10 billion tons of equivalent fuel is possible for exploitation.

A coastal State is entitled to continental shelf beyond its territorial sea limit to the outer edge of its continental margin, or up to a distance of 200 M from its baseline in case the outer edge of its continental margin does not reach that distance. In addition, article 76 of the Convention also enables coastal States to claim continental shelf beyond 200 nautical miles (extended continental shelf, ECS). For this purpose, coastal States should make their submission coupled with supporting data to the Commission on the Limits of the Continental Shelf (CLSC). In other words, claim beyond 200 M cannot be made unilaterally and it has to obtain the commission’s recommendation in order to be valid. The commission consists of 21 experts in the fields of geodesy, geology, hydrography, and geophysics, coming from the UNCLOS States Parties. The latest election was in June 2007 serving for a five-year term.

Submitting the outer limits of ECS is by no mean an easy task. An acceptable claim should be accompanied by data describing the position of foot of continental slope (FOS) and sedimentary rock thickness of the seabed area of interest. The outer limits of the submitted CS should be the line delineating 1% sediment thickness or the line with a distance of 60 nautical miles from the FOS. In addition, UNCLOS also asserts that the outer limits of CS should not exceed 350 M from the baseline or the line of 100 M from the 2,500 meter isobaths (water depth).

For those whose expertise is not in the relevant area (i.e. geodesy, geology, hydrography, geophysics), it might be difficult to understand this technical delineation procedure. However, it is, at least, now clear that claiming ECS requires coastal States to go through a highly complicated process and yet it has to be recommended by the Commission in order for the outer limits to be final and binding. Placing a national flag has nothing to do with the claim, even though it is not going to say “don’t do that”. Analogously, the US did leave its flag on the moon back in 1969, but it does not mean that the Moon belongs to the US.ate

Russia and Australia, in fact, are claiming ECS. What they are doing is legally acceptable as UNCLOS facilitates them to do so. Russia, for its part, submitted its first claim in 2001 but does not seem to satisfy the Commission. This current expedition is to obtain stronger technical evidences for resubmission in 2009. Meanwhile, a similar claim submitted by Australia in 2004 also encompasses the seabed in Antarctic. No recommendation has been made by the commission so far.

In conclusion, Russia and Australia may legally submit their claim over the North Pole and Antarctic but they still have to provide technical evidence for their entitlement. It is then the task of CLCS to make recommendation. Without recommendation, no claim is valid. In addition, the existing treaty, such as the Antarctic Treaty should also be taken into account.

With regard to Russia’s claim, it is worth noting that Russia is not the only States that may claim ECS in the Arctic region as the it is surrounded by five States, namely Russia, Norway, Denmark, Canada, the US (in clockwise order). Russia’s claim to the seabed has to consider the entitlement of the four other States. As opined by McNab (2004), it will be good if the polar States can make a coordinated of even a joint submission to the Commission. If a submission made by one of the polar States is unacceptable to other States, the Commission will not make any recommendation and leave it until multilateral agreements is achieved among the States in question.

In other perspective, the ‘aggressiveness’ of Russia and Australia is also an alarm and motivation for other States. Some American politicians, for example, encourage the US senate to ratify the UNCLOS. By being the party to UNCLOS, the US can at least take part in saying “no” to excessive claim by coastal States, as implied by Senator Richard Lugar.

Similar to Russia and Australia, which intend to extend their maritime claims up to the North Pole and Antarctic, Indonesia too has a chance for extension in some locations. Their maneuver, to an extent, may motivate Indonesia to speed up the currently ongoing preparation. It might not be for the proof of glory, at least there exist reasons of economics and sovereign rights for which a submission should be made. Let’s see what may happen.
r

More...

Wednesday, August 01, 2007

Thousand of Indonesian Islands are ready to be registered to the UN

Baca versi Bahasa Indonesia
Around 3.000 Islands do not meet International Standard


Sorong, Kompas – Indonesian government has verified at least 3,046 island in its 11 provinces. In August 2007, it is targeted that all islands in Indonesia's 15 provinces can be registered to the UN.

The director of Small Island Management of Dept. of Marine Affairs and Fisheries (DKP), Alex SW Retraubun, stated this at a workshop in Sorong, Papua, Monday (23/7). Alex stated that the verification of islands' name is expected to be finished this year. The project started in 2005.

Alex informed that surveys have been carried out for 30 of 33 provinces in Indonesia. Surveys need to be conducted in three more provinces: Bali, Jakarta, and West Papua. From those 30 provinces, verifications have been completed for 11 provinces. Number of islands verified: South Sumatera (23 islands), Bangka Belitung (363), West Java (10), central Java (33), Yogyakarta (28), East Java (411), North Sulawesi (258), Gorontalo (123), Maluku (471), and North Maluku (784 islands).

"Even though we found and named new islands, verification showed that the number of islands, so far, decreases compared the number of islands we previously knew. The number is also smaller than that proposed by regional governments as many features do not meet criteria of islands defined by UNCLOS" said Alex SW Retraubun.

"It is not impossible that we will come up with smaller number of island than 17,504, the number we generally believe now", said Alex.

More...

Monday, July 30, 2007

UU No. 18/2007 tentang Batas Landas Kontinen RI-Vietnam

Sebenarnya ini berita lama yang belum sempat diposting di sini.

Batas maritim termutakhir yang disetujui Indonesia dengan negara tetangga terjadi tahun 2003 yaitu Batas Landas Kontinen dengan Vietnam. Penandatanganan perjanjian ini menjadi sesuatu yang penting dan bersejarah, selain karena merupakan pencapaian yang patut dipuji, juga karena perundingan telah berlangsung 25 tahun. Perundingan dimulai tahun 1978 (ketika saya baru lahir :) dan disepakati tahun 2003. Bukan berarti mentoleransi langkah yang lamban, setidaknya hal ini menjadi bukuti bahwa perundingan batas maritim memang tidak mudah dilakukan.

Setelah empat tahun dalam ketidakpastian, tahun ini DPR akhirnya meyetujui RUU ratifikasi perjanjian tersebut. Presiden RI telah mengesahkan UU No. 18/2007 pada tanggal 15 Maret 2007 tentang:


PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN, 2003 (AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE SOCIALIST REPUBLIC OF VIETNAM CONCERNING THE DELIMITATION OF THE CONTINENTAL SHELF BOUNDARY, 2003)


Sayang sekali saya belum mendapatkan daftar koordinat titik-titik batas dalam perjanjian tersebut. Akan segera diupdate dan ditampilkan petanya begitu koordinatnya didapatkan. Untuk sementara, peta berikut menunjukkan lokasi umum batas landas kontinen yang dispakati.


More...

Friday, July 27, 2007

Maritime boundary talks between two Koreas wraped up without agreement

Read similar in English

Perundingan antara kedua Korea yang dimulai dengan otpimisme, akhirnya terpaksa ditutup tanpa satupun hasil yang kongkrit. Sengketa batas maritim diyakini sebagai salah satu penyandung dicapainya kesepakatan antara keduanya.

Korea Utara tetap dengan pendiriannya bahwa garis batas maritim harus dinegosiasikan kembali dan digeser ke selatan. Garis yang ada sekarang, hasil delimitasi oleh UN tahun 1953, dianggap terlalu jauh ke utara sehingga merugikan Korea Utara. Sementara itu, kawasan tersebut kaya akan ikan. Garis tersebut memang didelimitasi secara unilateral oleh UN di akhir Perang Korea dan menghasilkan garis batas yang disebut dengan Northen Limit Line di Laut Kuning.

Perundingan berlangsung di Panmunjom, kawasan demiliterisasi yang padanya berdiri beberapa bangunan tempat negoasiasi, tepat di garis perbatasan. Peta berikut menunjukkan lokasi gedung-gedung perundinan itu di Panmunjom.

More...

Tuesday, July 24, 2007

Two Koreas talk about maritime boundaries

Read similar in English

Tahun 1999 saya pernah berkunjug ke Pamunjom, daerah demiliterisasi yang merupakan daerah perbatasan Korea Utara dan Selatan. Di kawasan ini ada garis batas dan berdiri beberapa bangunan tepat di garis batas tersebut. Kalau dalam satu negara ada lebih dari satu rumah, barangkali sudah biasa. Akan tetapi kalau ada satu rumah yang berdiri di atas lebih dari satu negara, barangkali di Pamunjom adalah salah satu dari sangat sedikit di muka bumi.

Selasa, 24 Juli telah terjadi perundingan di bangunan tersebut dan kali ini perundingannya perihal batas maritim kedua negara di Yellow Sea (Laut Kuning). Yang menarik adalah Korea Utara menghendaki dilakukannya penegasan batas ulang bagi kedua negara dan Korut tidak mengakui batas meritim yang ditentukan oleh PBB tahun 1953 setelah berakhirnya Perang Korea. Sebaliknya, Korea Selatan tidak menghendaki penegasan kembali sehingga negosiasi tidak berhasil mencapai titik temu hingga sesi hari itu berakhir.

Perlu diketahui bahwa tahun 1953 PBB telah menetapkan garis batas antara kedua negara yang disebut sebagai the Northen Limit line. Garis ini merupakan hasil proses unilateral oleh PBB yang oleh Korea Utara tidak diakui sehigga ada perbedaan pemahaman atas posisi batas maritim yang sebenarnya. Garis ini juga tidak termasuk dalam poin yang diatur dalam Armistice Agreement antara kedua negara setelah perang. Di satu sisi, perjanjian gencatan senjata ini belum pernah ditindaklanjuti dengan perjanjian damai yang secara teknis mengindikasikan kedua negara masih dalam perang.

Perbedaan penerimaan atas batas maritim ini tentu saja rawan konflik karena akan terjadi pelanggaran batas maritim dalam aktivitas patroli keamanan maupun penangkapan ikan. Tahun 2002, misalnya, terjadi kekacauan yang menimbulkan enam pelayar Korsel meninggal.

Negosiasi nampaknya akan berjalan alot karena kedua belah pihak bersikukuh dengan pendiriannya. Mari kita tunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Berikut ini Peta Laut Kuning yang dubuat dengan Google Maps API.

More...

Thursday, July 19, 2007

When Russia claims the North Pole and Australia wants Antarctica

Read similar in English ...

Ada isu berkembang di dunia maya bahwa Rusia kini akan mengklaim Kutub Utara sebagai bagian dari wilayahnya. Reaksi yang muncul dari berbagai kalangan terutama di luar Rusia tentu bisa diduga. Tidak setuju. Ya, siapa yang akan setuju membiarkan Rusia menguasai Kutub Utara.

Sementara itu, mungkin Anda juga pernah mendengar (atau belum) bahwa Australia hendak mengklaim Kutub Selatan, alias Antartika sebagai bagian dari wilayahnya. Apa reaksi orang-orang kebanyakan? Tentu juga bisa diduga: Tidak setuju.

Apa sesungguhnya yang terjadi dengan klaim wilayah ini. Benarkah seperti yang diberitakan media bahwa Rusia mengklaim Kutub Utara dan Australia menginginkan Kutub Selatan (Anatartika). Mari kita lihat duduk perkaranya dari sudut pandang lain.

Apa yang sedang dibicarakan di berbagai media, terutama luar negeri, adalah klaim yurisdiksi maritim oleh suatu negara pantai. Adalah Konvensi PBB tentang hukum laut yang mengatur kekuasaan suatu negara atas wilayah laut yaitu United Nations Conventions on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Dalam UNCLOS dinyatakan bahwa negara pantai berhak atas laut teritorial, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen (LK). LK adalah wilayah dasar laut yang dalam hal ini sebuah negara berhak melakukan eksplorasi dan eksploitasi saja (hak berdaulat, sovereign right), bukan menguasai secara penuh (kedaulatan, sovereignty.

Setiap negara pantai berhak atas LK hingga ujung tepian kontinennya atau hingga 200 mil laut diukur dari garis pantai jika ujung tepian kontinen tidak mencapai jarak 200 mil laut. Selain itu, UNCLOS juga memberi peluang negara pantai untuk mengklaim LK lebih dari 200 mil laut. Untuk ini negara pantai tersebut harus mengajukan klaim ke sebuah komisi PBB yang menangani ini yitu Commission on the Limits of Continental Shelf (CLCS).

Inilah yang sedang dilakukan oleh Rusia dan Australia. Yang jelas, kedua negara ini memiliki peluang untuk mengklaim dasar laut melebihi 200 mil laut dari garis pangkalnya yang dikenal juga dengan Landas Kontinen Ekstensi (LKE). Itu yang dilakukan untuk dasar laut di sebelah utara (mendekati Kutub Utara) oleh Rusia dan untuk kawasan dasar laut di sebelah selatan (mendekati Antartika) oleh Australia. Jadi, apa yang dilakukan oleh keduanya sebenarnya ada dasar yang jelas yaitu UNCLOS. Persoalan selanjutnya adalah Rusia dan Australia (atau negara pantai manapun yang akan mengajukan klaim LKE) harus dapat membuktikan secara ilmiah dan teknis. Untuk inilah Rusia mengirimkan 50 orang ilmuan ke Kutub Utara seperti diberitakan di media massa luar negeri. Selanjutnya adalah tugas dari CLCS untuk memberi rekomendasi apakah klaim ini layak atau tidak.

Jadi, kalau Australia berniat menguasai Antartika dan Rusia mengklaim Kutub Utara, apa yang bisa dilakukan oleh Indonesia? Indonesia secara legal juga bisa mengklaim landas kontinen melebihi 200 mil laut dari garis pangkal. Di mana dan seberapa jauh itu? Inilah yang sedang dikerjakan oleh para ahli kita. Mari kita tunggu hasilnya.

More...

Thursday, July 12, 2007

Norway and Russia signed Maritime Boundary Agreement

Read English version...

Setelah limapuluh tahun tidak membuahkan kesepakatan, akhirnya perundingan batas maritim antara Norwegia dan Rusia mencapai kata sepakat. Keduanya telah menandatangani perjanjian batas maritim pada tanggal 11 Juli 2007 untuk kawasan pesisir di mulut Varangerfjord (lihat peta).

Perjanjian ini, seperti diakui oleh Menlu Norwegia, Jonas Gahr Støre, akan meningkatkan hubungan baik kedua negara. Namun begitu, perjanjian ini bukanlah akhir dari persoalan batas maritim kedua negara. Masih ada segmen lain yang harus didelimitasi di masa yang akan datang. Sementara itu, perjanjian yang baru dilakukan ini mencakup batas maritim untuk laut teritorial, ZEE dan landas kontinen ke arah utara di luar mulut Varangerfjord, seperti dikemukakan oleh Store.

More...

Wednesday, July 11, 2007

US$24 billions for Nigeria-Cameroon border demarcation

Read English version...

Penyelesaian batas darat dan maritim antara Nigeria dan Cameroon yang belum terselesaikan nampaknya akan semakin sulit karena persoalan dana. Ajibola, seorang anggota tim gabungan Nigeria-Cameroon menyatakan bahwa untuk menyelesaikan proyek ini diperlukan dana hingga 24 miliar dolar Amerika Serikat.

Ditegaskan dalam pernyataannya bahwa delineasi sudah dilakukan di atas peta tetapi demarkasi atau penegasan di lapangan masih perlu dilakukan dan ini bukan pekerjaan yang mudah. Berikut adalah peta lokasi Negeria dan Cameroon yang menunjukkan batas di darat. Peta ini diambil dari Wikipedia. Gunakan panah untuk menggeser dan [-]/ [+] untuk memperkecil/memperbesar tampilan peta.

More...

Wednesday, June 27, 2007

Technical Aspects of Regional Maritime Boundary Delimitation in Indonesia:

A Case Study on the Maritime Boundary Delimitation
between the Provinces of Bali and Nusa Tenggara Barat

I Made Andi Arsana*
madeandi@ugm.ac.id

I Gede Pasek Sutrana Adnyana*
igedde@yahoo.co.id

Sumaryo*
sumaryo@ugm.ac.id

* Department of Geodesy and Geomatic Engineering
Gadjah Mada University, INDONESIA
P: +62 274 902121 F: 520226
http://www.geodesi.ugm.ac.id

Abstract

Indonesia is an archipelagic State with 33 provinces and hundreds of regencies, which is now implementing regional autonomy. The regions that have sea territory are given the authority to manage natural resources therein. This provides Indonesia with the challenges of regional maritime boundary delimitation between provinces or regencies/cities. This is governed by the Law No. 32/2004, which deals with local government affairs including regional authority in the "sea territory". It regulates entitlements to maritime areas and maritime boundary delimitation in cases where overlapping claims between provinces or regencies/cities arise. Technical guidelines on regional boundary settlement have also been issued by the Ministry of Home Affairs through a regulation called Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1/2006 (hereinafter referred to as Permendagri No. 1/2006).

This paper is aimed at addressing technical aspects of maritime boundary delimitation between two provinces in Indonesia. The case study is for the Provinces of Bali (Bali) and Nusa Tenggara Barat (NTB). This paper analyses the determination of regional authority in the sea territory of the two provinces, which was done cartometrically based on Permendagri No. 1/2006. This includes the definition of baselines, maritime claim simulation, overlapping claim identification, and theoretical maritime boundary delimitation by employing the equidistance principle.

It has been identified that there are potential overlapping claims between Bali and NTB in the Lombok Strait that requires delimitation. CARIS LOTS™, specifically designed GIS software for maritime boundary delimitation, was employed as an assisting tool for this research. This paper presents options of maritime boundaries, which might be one of the alternatives that the government of Bali and NTB may consider in the real delimitation. In addition, this paper, in general, is expected to provide relevant information for local governments in Indonesia in dealing with the recently-emerged issue: regional maritime boundary delimitation.

Keywords : regional maritime boundary, delimitation, Permendagri No.1/2006, GIS

Remark: accepted for oral presentation at MapAsia 2007 in Kuala Lumpur.

More...

Indonesia's Submission of the Extended Continental Shelf: Status and Problems


I Made Andi Arsana*
madeandi@ugm.ac.id

Clive Schofield**
clives@uow.edu.au

* Department of Geodesy and Geomatic Engineering,
Gadjah Mada University, INDONESIA. Currently a UN-Nippon research fellow in Ocean Affairs and the Law of the Sea at the Australian National Centre for Ocean Resources and Security, University of Wollongong, Australia

** QEII Research Fellow at the Australian National Centre for Ocean Resources and Security, University of Wollongong, Australia.

Abstract

The United Nations Law of the Sea Convention (LOSC) 1982 indicates that a coastal State may make a claim to continental shelf extending beyond 200 nautical miles (Extended Continental Shelf, ECS). In order for a coastal State to exercise its sovereign rights over the ECS, a submission containing the outer limit of its continental shelf should be deposited to the Commission on the Limits of the Continental Shelf (CLCS) trough the Secretary-General of the United Nations.
Indonesia is one of the coastal States, which may potentially make such a claim to continental shelf beyond 200 nautical miles from its baselines. Preliminary studies also suggest that Indonesia may be able to advance such claims in several locations. At the time of writing, Indonesia is currently preparing for its ECS submission, with a deadline of 13 May 2009. The present paper is aimed at outlining the development of Indonesia's ECS claim, including analysis of the current status of the submission preparations as well as the challenges that Indonesia is facing. While giving particular emphasis to technical aspects, this paper will, necessarily, discuss legal issues associated with Indonesia's ECS submission.
This paper generally covers the principles related to the definition of the outer limits of the ECS, with an emphasis on the formulae and constraints as set out in Article 76 of LOSC, technical aspects of ECS definition, and the latest status and problems related to Indonesia's ECS submission. Wherever possible, this discussion is also intended to provide possible options to overcome the identified problems.

Keywords: extended continental shelf, LOSC, article 76, CLSC, submission, formulae, constraint

Remark: accepted for oral presentation at MapAsia 2007 in Kuala Lumpur.

More...

Tuesday, June 26, 2007

More...

Saturday, June 16, 2007

Settling Maritime Boudaries

I Made Andi Arsana, Asian Surveying and Mapping, 13 June 2007

East Timor, the youngest country in the world, celebrated the fifth anniversary of its independence from Indonesia on 20 May. It is a country of tremendous challenges -- it is one of the poorest in the world -- but it is also one with great hopes for the future.

In recent elections, the Timorese voted Nobel Peace Prize winner Jose Ramos-Horta as the country's new president. Among his most urgent tasks: fighting poverty. In particular, he needs to ensure access to the revenues that will flow from the oil-rich seabed of the Timor Sea. More...

More...

Tuesday, June 12, 2007

UN-Nippon Fellopship is now open for application

Do you want to be a UN-Nippon fellow conduct research in one of the best centres in America, Australia or Europe? You may join the UN-Nippon Fellowship. It is now open for application. Should you have any question, please feel free to contact me.

More...

Sunday, May 27, 2007

Landas Kontinen Ekstensi - Dua Masalah [?]

Dalam pencarian saya yang tentunya masih belum seberapa, saya menemukan beberapa pendapat yang berbeda tentang dua hal mengenai landas kontinen.

Pertama adalah mengenai kriteria batas terluar, terutama menyangkut constraints. Beberapa tulisan menyatakan dengan tegas bahwa batas terluar adalah tidak melebihi 350 mil laut dari garis pangkal.

Menurut pencarian saya, pandangan ini tidak sesuai dengan apa yang disebutkan dalam pasal 76 UNCLOS yang mengemukakan ada dua constraints yaitu 350 mil laut dari garis pangkal dan 2500 m isobat + 100 mil laut ke arah laut lepas. Yang terpenting dari kedua constraints ini adalah adanya operator logika ATAU (OR) yang menghubungkan keduanya, bukan DAN (AND). Artinya, bisa dipilih salah satu dan yang the "most advantageous". Artinya, mana dari kedua constraints itu yang menghasilkan batas paling luar/jauh, maka constraint itulah yang digunakan. Dengan kata lain, bisa saja batas terluar LK lebih dari 350 mil laut sepanjangan constraint 2500 m isobat + 100 mil laut masih terpenuhi. Untuk ini saya coba buatkan animasinya agar lebih mudah mengilustrasikan, silahkan dicermati dan dikomentari.

Hal kedua adalah perihal deadline pengajuan submisi ke CLCS.
Saya melihat masih ada pendapat yang menganggap deadline untuk submisi adalah 16 November 2009. Saya duga pendapat ini dilandasi oleh suatu anggapan bahwa semula deadline submisi adalah 10 tahun sejak berlakunya UNCLOS (16 November 1994) sehingga deadline adalah 16 Nov 2004 dan kemudian "diundur" selama 5 tahun sehingga menjadi 16 November 2009. Menurut penelusuran saya, deadline submisi tidak dihitung dengan prinsip seperti itu, melainkan dengan pertimbangan saat diadopsinya/disetujuinya petunjuk ilmiah dan teknis batas terluar landas kontinen oleh CLCS.

Pada Meeting of State Parties of UNCLOS tahun 2001, disepakati bahwa submisi dari negara pantai disepakati 10 tahun sejak diadopsinya petunjuk ilmiah dan teknis batas terluar landas kontinen oleh CLCS yang dalam hal ini adalah 13 Mei 1999. Artinya, 10 tahun sejak tanggal ini adalah 12 Mei 2009 (lihat juga SPLOS/72). Hal ini tentu saja berlaku untuk negara pantai yang sudah meratifikasi UNCLOS sebelum 13 Mei 1999, termasuk Indonesia.

Perihal deadline ini menjadi penting untuk dicatat karena kesalahan pemahaman akan deadline bisa berakibat fatal bagi Indonesia yang akan melakukan submisi, terlebih dengan cara parsial.

Pendapat saya ini dalam rangka mengomentari beberapa makalah termasuk yang ditulis oleh pakar-pakar Indonesia mengenai landas kontinen. Ada pendapat lain?

More...

Thursday, May 24, 2007

Timor Leste must settle maritime boundary

Opinion and Editorial in The Jakarta Post - May 23, 2007

I Made Andi Arsana, Wollongong, Australia

Timor Leste's recent successful election has given the country a new president, Jose Ramos-Horta. Voters have a lot riding on the Nobel Peace Prize winner's ability to overcome the myriad challenges facing the young country. One of those challenges, and one that Timor Leste must prioritize now, is the settlement of the country's maritime boundaries.
More...

More...