Karya I Made Andi Arsana, ST., ME Batas Maritim Antarnegara - Sebuah Tinjauan Teknis dan Yuridis (Gadjah Mada University Press, 2007) more...

Tuesday, October 30, 2007

The Constitution of the Oceans

, Opinion and Editorial - October 29, 2007

I Made Andi Arsana, New York City

Attending the United Nations General Assembly in New York was an interesting experience. Being an observer, it was exciting for me to see how a negotiation and consultation went. The day I attended an informal consultation of the law of the sea was taking place. The moment reminded me that the future of ocean affairs and the law of the sea was being discussed in the room.

This year, the 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) is 25 years old. People refer to it as the "Constitution of the Oceans", being the most comprehensive codified law of the sea in human history.

The road to establish the convention was long and winding, and it took nine years to finish before it was ratified by the majority of coastal states around the globe. To date, it has been signed by 154 coastal states and the European Union, including Indonesia, with the Law No. 17/1985.

The convention also deals with international maritime boundaries. In this regard, Indonesia has 10 neighboring states, namely India, Thailand, Malaysia, Vietnam, Singapore, the Philippines, Palau, Papua New Guinea, Australia and Timor Leste, with which maritime boundaries need to be settled. To date, 18 agreements have been established making Indonesia one of the most productive in this regard. However, Indonesia still has work to do. Continue >>

More...

Wednesday, October 17, 2007

Prof. Dr. Hasjim Djalal: The one Indonesia should be proud of

I was going to say “Who doesn’t know Prof. Hasjim Djalal?” when I started writing this article but I cancelled my intention. While to me Prof. Djalal is definitely the prominent person in the area of the law of the sea in Indonesia and even in the world, a friend of mine, who is a surveyor, does not know him. It was too bad. But this is a different story.


After attending a presentation by Prof. Djalal in the UN Secretariat Building in New York, I am sure that the ‘provocative’ opening sentence of my article is definitely relevant. “Who does not know Pro. Hasjim Djalal?” Everyone who devotes his/her energy and time in the field of law of the sea should know this special person. It seems to me that prominent people from around the world do respect Prof. Djalal. It can be obviously observed from the seminar organised by DOALOS and UNITAR, this morning.

I was one of the lucky people in the room this morning for the chance to learn from such a great presentation by Prof. Djalal. He was invited by DOALOS/UNITAR to give a presentation in the celebration of the 25 years of the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). It was in December 1982 when the Convention was open for signature and Prof. Djalal was the one who was actively involved in the negotiation of the Convention. He is definitely a living witness to the “making” of the so-called “Constitution of the Oceans”. Therefore it was an excellent idea for DOALOS/UNITAR to present Prof. Djalal to the audience this morning. Not only because he is the veteran of the Convention but also because he has been devoting his life to the issues of law of the sea for such a long time and even until has he aged 74 years, now. He is really the one to whom we should speak about the historical context of the Convention.

Prof. Djalal definitely knew what the convention is all about. He amazingly recalled the philosophy behind the Convention and clearly delivered it to the audiences in a very interesting manner. He started his presentation by addressing the issues the world was facing prior to the Convention, leading to the need of the establishment of the Convention. I am sure that everybody in the room was enlightened by his interesting presentation. He was always frank and spoke honestly from his hearth. He said anything clearly without any hesitation. Not to mention that his English is undoubtedly excellent.

I was personally amazed how clear he could address every single issue in the Convention as well as the historical context of them. He was the star in the conference we had for a whole day today. His extensive knowledge concerning ocean affairs and law of the sea is unquestionable. In addition, he without hesitation spoke up his disagreement with some of the US policies concerning Ocean Affairs and Law of the Sea. He made it interesting as he spoke in front of many Americans, who seemed to me agree with him. That is why I call him frank and brave.

As a new comer in the law of the sea, I was so glad to know that an Indonesian played significant role in drafting such an important Convention, which I did not really know until this morning. I heard that Prof. Djalal was involved but I did not realize that his contribution was massive and was highly acknowledged by people from around the globe. It seems to me that Prof. Hasjim Djalal is a special person and a very good advocator. No wonder that he was assigned to be an ambassador in several States in the past and also an Ambassador At-Large for Ocean Affairs and law of the Sea for many years. I am definitely convinced that it was the right choice by the government of Indonesia.

Talking about Prof. Djalal and his greatness will last forever. This article can be so long. I should stop here. As an Indonesian, I could not agree more that he is the one Indonesia should be proud of. The next question is “when will Indonesia have another Djalal in her history?

More...

Tuesday, October 16, 2007

Batas Maritim Indonesia setelah 25 Tahun UNCLOS

Mengikuti Sidang Umum PBB di gedung Sekretarit PBB, New York merupakan pengalaman yang menarik. Sebagai pengamat, penulis dapat mengikuti dengan seksama jalannya negosiasi yang kadang alot. Saat itu terjadi konsultasi informal pembahasan resolusi hukum laut (law of the sea) yang berkutat tidak saja pada masalah isi tetapi juga bahasa. Pengalaman menarik itu mengingatkan bahwa nasib kelautan dan hukum laut planet ini sedang dibicarakan di ruangan itu.

Tahun ini Konvensi PBB tentang hukum laut yang dikenal dengan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS) telah berumur 25 tahun. Orang menyebutnya Constitution of the Oceans karena dipandang sebagai bentuk kodifikasi hukum laut yang paling komprehensif sepanjang sejarah peradaban manusia. Konferensi untuk mewujukan konvensi tersebut berlangsung tidak kurang dari sembilan tahun sebelum akhirnya disetujui dan diratifikasi oleh sebagian besar negara pantai (coastal states) di dunia. Kini ada 155 negara yang meratifikasinya termasuk Indonesia dengan UU No.17/1985.

Salah satu hal penting yang diatur dalam UNCLOS 1982 dan terkait erat dengan Indonesia adalah yurisdiksi dan batas maritim internasional. UNCLOS mengatur kewenangan sebuah negara pantai terhadap wilayah laut (laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi ekskluif, dan landas kontinen). Selain itu diatur juga tatacara penarikan garis batas maritim jika terjadi tumpang tindih klaim antara dua atau lebih negara bertetangga, baik yang bersebelaan (adjacent) maupun berseberangan (opposite).

Indonesia yang berada di antara dua samudera dan dua benua memiliki sepuluh tetangga yaitu India, Thailand, Malaysia, Vietnam, Singapura, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste. Penetapan batas maritim sudah dilakukan sejak tahun 1969 dengan Malaysia ketika UNCLOS 1982 belum ada. Hingga kini, 18 perjanjian batas maritim sudah disepakati sehingga tidak berlebihan jika ada pendapat yang mengatakan bahwa Indonesia termasuk sangat produktif dalam menyelesaikan batas maritim dengan negara tetangga. Meski demikian, PR Indonesia masih tersisa.

Harus diakui bahwa perjalanan Bangsa Indonesia masih diwarnai riak-riak yang terkait sengketa batas maritim. Kasus Ambalat yang mencuat di awal tahun 2005, isu pulau terluar, dan perbatasan dengan Singapura yang masih belum tuntas adalah sebagain kisah yang meramaikan media massa bahkan hingga saat ini. Cerita tentang Sipadan dan Ligitan bahkan menjadi legenda yang siap dikisahkan kembali kapan saja. Kini setelah UNCLOS berusia 25 tahun, ada baiknya mengingat kembali kejadian itu dan mengambil pelajaran darinya untuk membangun kisah masa depan yang lebih baik.

Meluruskan Mitos Sipadan dan Ligitan
Sebagian masyarakat memahami bahwa dua pulau Indonesia ini direbut Malaysia. Saatnya kita benar-benar paham bahwa Indonesia tidak pernah kehilangan pulau. Sipadan dan Ligitan adalah dua pulau “tak bertuan” yang coba diklaim oleh Indonesia dan Malaysia tetapi dimenangkan oleh Malaysia karena alasan penguasaan efektif.

“Kemenangan” ini tidak saja karena usaha Malaysia tetapi juga Inggris sebagai pendahulunya. Inggrislah yang telah melakukan usaha yang menguatkan penguasaan atas kedua pulau itu baik berupa pemberlakuan hukum maupun pendirian dan pemeliharaan mercusuar. Perlu juga diingat bahwa penguasaan efektif yang dimaksud tidak terkait pembangunan resort oleh Malaysia karena faktor-faktor yang dipertimbangkan adalah sebelum tahun 1969 seperti disepakati kedua negara. Apapun yang terjadi setelah 1969 tidak ada kaitannya dengan kedaulatan atas kedua pulau tersebut.

Ada baiknya kita membaca secara seksama hasil keputusan Mahkamah Internasional yang secara mudah bisa didapatkan di Internet untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik. Pemahaman ini penting untuk menghindarkan kita dari kesalahan menghujat pihak-pihak yang tidak semestinya dihujat. Meski demikian, memang harus diakui bahwa tidak semua berita di media massa menyampaikan duduk perkara kasus ini secara benar. Lebih jauh lagi, ada kalanya pejabat negara juga berkomentar emosional dan tanpa tanpa pemahaman yang memadai sehingga memperburuk suasana. Menyebut Ambalat sebagai pulau dan menuduh Malaysia tidak berhak mengklaim lebih dari 12 mil wilayah laut karena bukan negara kepulauan adalah dua contoh komentar yang tidak pada tempatnya. Tidak mengherankan jika masyarakat salah mengerti dan kadang muncul reaksi nasionalisme berlebih.


Langkah ke depan
Ada setidaknya tiga hal yang harus kita lakukan bersama untuk menuntaskan PR batas maritim yang akhirnya berujung pada kehidupan berbangsa yang lebih damai. Hal pertama adalah memusatkan perhatian pada penyelesaian batas maritim yang masih tertunda. Saya yakin, hal ini pastilah sudah menjadi agenda pemerintah bersama institusi terkait. Negosiasi dengan Malaysia dan Filipina sedang berlangsung, demikian pula penjajagan dengan Palau sudah dilakukan. Delimitasi landas kontinen melebihi 200 mil laut pun sedang dilakukan dan siap untuk diserahkan kepada PBB. Usaha ini memerlukan konsentrasi dan dukungan kita, terutama media massa.

Hal kedua adalah melakukan pemeliharaan dan sosialisasi batas maritim yang sudah ada. Menetapkan batas maritim bukanlah akhir dari segalanya. Menjaga dan memelihara batas menjadi tantangan yang juga sangat sulit. Pewujudan batas dalam peta dengan spesifikasi yang memadai termasuk mensosialisasikannya kepada pihak berkepentingan (nelayan, masyarakat pesisir, dll) adalah keharusan. Tanpa sosialisasi dan pemahaman yang benar tentang posisi dan status batas maritim, penangkapan nelayan karena melewati garis batas tetap akan terjadi. Saatnya kita belajar dan peduli dengan wilayah dan perbatasan kita.

Hal ketiga adalah meningkatkan kepakaran batas maritim dari aspek legal, politis maupun teknis. Memang batas maritim merupakan pesoalan hukum dan politis. Yang tidak banyak diketahui masyarakat umum adalah pentingnya keahlian teknis dalam hal ini. Memang tidak banyak berita di koran yang membahas pentingnya penentuan koordinat titik batas dengan datum geodesi yang jelas, misalnya, sehingga sebagian masyarakat hanya melihatnya dari sudut pandang politis dan hukum.

Indonesia, menurut hemat penulis, memiliki banyak pakar hukum tetapi masih memerlukan orang-orang yang menekuni aspek teknis. Perlu lebih banyak ilmuwan kebumian (geodesi, geofisika, hydrografi, geologi) yang menekuni aspek teknis hukum laut untuk mendukung tim batas maritim Indonesia di masa depan. Tentu saja bukan berarti pakar yang ada sekarang tidak mumpuni, kuantitas perlu ditingkatkan dan regenerasi adalah hal yang tidak bisa diabaikan.

Banyak jalan untuk meningkatkan kepakaran ini. Adanya mata kuliah formal tentang batas wilayah di Jurusan Teknik Geodesi dan Geomatika UGM merupakan salah satu langkah yang baik. Peluang fellowship yang diberikan oleh United Nations dan Nippon Foundation untuk melakukan penelitian terkait selama sembilan bulan di luar negeri dan kantor PBB merupakan kesempatan yang sangat baik untuk diikuti oleh generasi muda Indonesia (lihat http://www.un.org/Depts/los/nippon/).

Selain itu, pendirian pusat studi yang mengkaji isu batas martim di berbagai negara di seluruh dunia merupakan cara untuk belajar dari pengalaman orang lain. Pemerintah dan institusi pendidikan sudah semestinya memberi dukungan terhadap kegiatan penelitian yang terkait batas maritim ini.

Di saat UNCLOS berumur 25 tahun, sudah semestinya kita belajar lebih banyak lagi. Perjuangan Ir. Djuanda Kartawidjaja dengan deklarasinya di tahun 1958 yang melahirkan konsep Wawasan Nusantara semestinya tetap menjadi inspirasi bagi Indonesia yang adalah negara bahari. Mari kita mulai mengajarkan anak kita menggambar pemandangan laut, tidak hanya dua buah gunung dengan jalan di tengahnya. Mari menanamkan kesadaran bahari sejak dini.

More...

Friday, October 12, 2007

UK invites Argentina to jointly work in seabed extension

Read here for English.

Pengajuan batas terluar landas kontinen melebihi 200 mil laut dari garis pangkal (landas kontinen esktensi, LKE) memang merupakan isu yang hangat belakangan ini. Beberapa negara yang meratifikasi UNCLOS sebelum tahun 1999 diwajibkan menyerahkan dokumen batas LKE dan pendukungnya sebelum tanggal 13 Mei 2009 kepada CLCS.

Inggris (UK) adalah salah satu dari negara pantai di dunia yang berpeluang mengajukan LKE kepada CLCS dengan deadline 2009. Sebelumnya Inggris sudah mengajukan LKE bersama-sama dengan Spanyol, Irlandia dan Perancis. Kali ini Inggris mempersiapkan pengajuan LKE untuk kawasan Falkland Island (lihat peta dan gunakan -/+ untuk memperkecil/memperbesar tampilan) yang merupakan kawasan Inggris di luar Benua Eropa. Sementara itu, Falkland Island berada dekat dengan Argentina yang berpotensi sengketa. Hal ini membuat Inggris berniat untuk berkerjasama. Inggris, melalui surat terbuka yang dipublikasikan di Buenos Aires press, mengajak Pemerintah Argentina untuk mengajukan LKE secara bersama.

Pengajuan LKE bersama ini memang dimungkinkan oleh CLCS melalui aturan yang ada dan bahkan cenderung disarankan jika daerah yang diajukan berpotensi konflik. Perlu diketahui bahwa pengajuan LKE ini akan direkomendasikan oleh CLCS dan bisa bersifat final dan mengikat jika "direstui" oleh Komisi ini. Jika kawasan yang diajukan masih dalam sengketa maka CLCS tidak akan mau mempertimbangkan dan mewajibkan negara-negara yang bertikai untuk mengelesaikan sengketa terlebih dahulu.

Ajakan Inggris kepada Argentina ini merupakan langkah yang baik dan perlu mendapat sambutan yang positif. Hal ini juga bisa dijadikan cermin bagi negara-negara lain yang akan mengajukan LKE dalam waktu dekat. Sementara itu, Indonesia sendiri sedang mempersiapkan pengajuan LKE yang direncanakan akhir tahun ini.

More...

First draft submitted

Today, the very first draft was submitted to Francois for his comments. The paper contains four chapters and it was after suggestions made by Clive, my supervisor during the first-phase placement in the University of Wollongong.

Francois told me that it may take him four working days in total to review mine and provide comments. In the meantime, I will work on the footnote and referencing system which currently does not yet comply the requirements.

We will see what may happen next week when Francois return my paper.

More...

Wednesday, October 10, 2007

Met the Ambassador

I might not need to talk too much about what happened this afternoon. This picture should be able to tell you the story more than I would do verbally. A picture worths thousands of words, I believe.

I Met, Pak Marty Natalegawa, the Ambassador Extraordinary and Plenipotentiary, Permanent Representative of the Republic of Indonesia to the United Nations (PTRI). See also my previous posting. He was also glad when I presented to him my book about Maritime Boundaries and collection of my articles in newspapers.

The discussion was productive. I had a chance to explain what the fellowship is all about as well as my academic background. In addition, I asserted that the fellowship is a great chance that Indonesia should not miss. It is unfortunate that no one from Indonesia applying for the fellowship this year. A great chance next year will be missed. Pak Marty agreed that Indonesia should not ignore this opportunity and asked Pak Adam, one of his staffs to put this as one of the regular agendas. However, regularizing the program does not mean to put more complicated rules that will prevent people from applying. Pak Marty emphasized that one of our expertises is to make something more complicated. We should not do this :)

Pak Marty, as I expected, is a nice person. He is far form being formal and is really friendly. He showed his respect to other people, even though the person is much younger and less-experienced compared to him. The meeting with the Ambassador this afternoon was a great experience.

More...

Tuesday, October 09, 2007

UN Draws Honduras, Nicaragua Sea Border

Read here for English

Sengketa berkepanjangan antara Nicaragua dan Honduras berakhir sudah. Tanggal 8 Oktober, Mahkamah Internasional (ICJ) memutuskan untuk menetapkan batas maritim antara kedua negara. Selain menetapkan batas maritim, ICJ juga memutuskan kedaulatan atas beberapa pulau di sekitar kedua negara tersebut.

Honduras memperoleh kedaulatan atas Bobel Cay, Savanna Cay, Port Royal Cay dan South Cay di samping menarik satu garis tunggal sebagai batas maritim. Hasil keputusan ini nampaknya diterima dengan baik oleh kedua belah pihak karena sepertinya merupakan hasil kompromi antara keinginan masing-masing. Dalam pengajuan argumentasinya, kedua negera tentu saja memiliki "forward position" yang relatif 'eksesif' dan garis batas yang ditetapkan kurang lebih berada di antara klaim masing-masing. Jelasnya status kedaulatan empat pulau di Laut Karibia tentu saja berpengaruh terhadap batas maritim yang ditetapkan. Silahkan baca seputar berita ini dari berbagai sumber.



More...

Monday, October 08, 2007

Boundary between Connecticut and Rhode Island Vanishing

Read here for English

Hilangnya patok/tugu batas wilayah ternyata menjadi fenomena di banyak tempat, termasuk di Amerika. Tidak hanya di Indonesia tugu batas wilayah dibongkar penduduk karena ketidaktahuan atau karena jahil, di Amerika pun hal ini terjadi. Tugu batas antara Negara Bagian Connecticut dan Rhodhe Island (lihat peta) yang seharusnya berjumlah 47 kini hilang 7 buah. Hal ini disinyalir karena dipindahkan penduduk, mungkin untuk hiasan karena bentuknya memang unik, menarik untuk penghias taman :)

Hilangnya tugu batas menjadi hal yang serius. Meskipun kini koordinat titik batas bisa ditentukan dengan GPS, tetap saja keberadaan tugu menjadi penting karena masyarakat mengetahui batas wilayah dari tugu, bukan dari koordinat. Di Amerika dengan sistem administrasi masyarakat yang sudah sangat baik, kekaburan batas wilayah berdampak sangat besar. Pembayaran pajak, registrasi bangunan, dan pelayanan polisi adalah beberapa contoh kecil saja yang akan bermasalah jika batas wilayah tidak jelas. Hal ini tentunya juga berlaku di Indonesia. Oleh kerena itu penetapan dan penegasan batas wilayah menjadi sangat penting. Yang lebih penting lagi adalah sosialisasi tentang batas wilayah terutama kesadaran masyarakat untuk memelihara tugu batas wilayah di daerahnya.

More...

Sunday, October 07, 2007

Guyana vs Suriname

For English, click this.
Pada tanggal 20 September 2007, ITLOS memutuskan perkara delimitasi batas maritim antara Guyana dan Suriname yang telah menjdi sengketa panjang. Negosiasi kedua negara telah mengalami kebuntuan sehingga kasus ini diserahkan kepada ITLOS.

Keputusan ITLOS menunjukkan bahwa penerapan pendekatan proporsionalitas digunakan dalam menentukan garis batas ini. Dalam hal ini Guyana mendapat 51% wilayah laut sedangkan Suriname mendapat 49%. Keputusan ini menerapkan prinsip ekuidistan dengan modifikasi berdasarkan proporsi, salah satunya panjang garis pantai. Hal ini, menurut pejabat negara Suriname, bisa diterima mengingat proporsi panjang garis pantai kedua negara adalah 54 (Guyana) berbanding 46 (Suriname). Namun begitu, pihak oposisi Suriname menganggap delimitasi ini tidak adil sehingga mendesak pemerintah Suriname untuk mengajukan keberatan.

ITLOS memang memberikan kesempatan kepada Suriname dan Guyana untuk mengajukan keberatan atas keputusan mereka sebelum keputusan itu bersifat final dan mengikat.

More...

Saturday, October 06, 2007

When Russia claims the North Pole and Australia wants Antarctica

One of my article is published in DiscoveryIndonesia.com. The article concerns the the Russian claim over the North Poles and the one that Australia similarly does to the Antarctica. Please read the article here.

More...

Friday, October 05, 2007

Dr. Natalegawa

I was sitting in front of a Chase Bank counter in the UN secretariat building in the afternoon. I was helping Ritche, the new fellow from the Philippines open a bank account when accidentally I heard somebody was talking on the phone in Bahasa Indonesia. It is not very common to hear somebody speaking in Bahasa Indonesia in this building, especially when there is no international diplomat around. Being curious, I turned my head to the voice and surprisingly I discovered a familiar face.

The man talking on the phone was Dr. Marty Natalegawa, the Indonesian Ambassador Extraordinary and Plenipotentiary, Permanent Representative of the Republic of Indonesia to the United Nations (PTRI). Of course I recognized him as everybody in Indonesia seems to know him. We can easily see his face or his comments on TVs or newspapers. He was a famous Spokesperson of the Ministry of Foreign Affairs before appointed as the Indonesian Ambassador to United Kingdom. Now, he is currently the head of our mission in New York.

What a surprise to me. Coincidently, I was planning to visit him in his office and present him one of my books about Maritime Boundaries. I think the book will be quite important for him as a diplomat. It seemed to me that it was a good time to say hello and introduce myself. I waited until he finished talking on the phone and completed his paper work. "Selamat siang Pak Marty!", I said and of course he was surprised. "Selamat siang!" he said before accepting my hand shake. I then told him briefly about me and informed him about what I am doing in New York.

The short conversation gave me an impression that he is a really nice person. He showed me his interest concerning the area I am currently working. I told him my idea to present him a book of mine and he was happy for that. He then asked me to contact his secretary for arranging a meeting. "I want to know more about the topic", he said.

Pak Budi, his secretary, tentatively arranged a meeting for me with Dr. Natalegawa on Tuesday, 9 October 2007 at 5 pm. It is to me a great chance for networking and also for real contribution to Indonesia. See you on Tuesday.

More...

Monday, October 01, 2007

LOS resolution

Being in New York this time gives me great opportunities. General Assembly is ongoing and other important conference are here to attend. This afternoon, Sampan (the fellow from Thailand) had a chance to be in the LOS resolution meeting in Conference Room 8. Being in such an important conference is an hilarious experience. I could observe closely how people from the Division of Ocean Affairs and Law of the Sea (DOALOS) of the UN Office of Legal Affairs (OLA) and delegates from several countries debated on the LOS resolution.

To me personally, the discussion was really interesting when it came to the talk on continental shelf and Commission on the Limits of Continental Shelf. The topic closely relates to what I am currently doing in my research. The discussion was about responding the response of International Maritime Organization (IMO) to the previous draft of the resolution. I could observe how delegates from USA, Canada, China, Norway, Guatemala, Portugal and Australia played their roles in establishing final resolution. It was a precious experience to me to see the real negotiation, something I only watched on TV or read from books.

More...